Hadirnya peraturan perundang-undangan terkait satwa seharusnya bisa melindungi satwa tersebut dari tindak eksploitasi oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Sayangnya hal itu tidak dapat didapatkan oleh luwak, satwa asal Indonesia si penghasil kopi termahal di dunia, bahkan dengan hadirnya undang-undang yang khusus mengatur penangkaran luwak.
Sejak 2015, hanya terdapat tiga berita mengenai pelanggaran peraturan penangkaran luwak yang muncul di bawah mesin pencarian Google. Namun dari ketiga berita tersebut, tidak ada satupun pemberitaan yang menguak sanksi bagi para pelanggar. Bahkan ketiganya sekadar membahas perizinan bangunan, kepemilikan, serta permohonan keringanan memulai usaha kopi luwak. Tidak ada pembahasan mengenai pelanggaran kelayakan penangkaran luwak dalam berita-berita tersebut. Tak hanya itu, pemberitaan mengenai penelantaran serta ketidaklayakan penangkaran luwak yang berujung pada sanksi juga amat sulit ditemukan. Minimnya tindak lanjut aparat terhadap pelanggar standar penangkaran kopi luwak patut dipertanyakan. Padahal, Peraturan Kementerian Kehutanan mengenai penangkaran kopi luwak telah ada sejak 2015. Namun, kenapa jarang sekali terdengar adanya sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut?
Terdapat dua peraturan sebagai rujukan standar penangkaran luwak khususnya untuk memproduksi kopi luwak. Pertama, yakni Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) No. 37 Tahun 2015 tentang cara produksi kopi luwak melalui pemeliharaan luwak yang memenuhi prinsip kesejahteraan hewan. Sedangkan yang kedua, tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1990 yang membahas tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Permentan tersebut menyebutkan dengan jelas dan rinci bagaimana standar sebuah penangkaran luwak yang harus dijaga dalam produksi kopi luwak. Khususnya mengenai cara produksi kopi luwak, tertulis kesejahteraan hewan yang harus dijaga oleh penangkar. Hal ini mencakup (1) bebas dari rasa lapar dan haus; (2) bebas dari rasa sakit, cidera, dan penyakit; (3) bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; (4) bebas dari rasa takut dan tertekan; dan (5) bebas untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Dituliskan juga secara rinci bahwa buah kopi tidak seharusnya diberikan setiap hari dengan frekuensi maksimum yakni dua kali dalam satu minggu.
Kegamblangan yang ada pada peraturan tersebut tentu seharusnya menjadi standar umum bagi para penangkar luwak. Namun, tidak ada sanksi tertulis yang dapat memberikan konsekuensi pada penangkar-penangkar nakal. Sehingga kemungkinan penangkar tersebut mematuhi aturan yang ada menjadi semakin kecil, karena tidak adanya dorongan untuk menghindari aksi pelanggaran peraturan tersebut.
Hal yang sama juga dapat terlihat pada UU RI no. 5 tahun 1990. Undang-undang ini lebih mengacu pada satwa beserta ekosistemnya. Tertulis pada peraturan tersebut bahwa orang-orang yang memperjualbelikan dan menangkap satwa dilindungi tanpa izin dapat dikenakan pidana atau denda. Sayangnya dalam peraturan tersebut, tidak disebutkan keterangan denda ataupun sanksi mengenai satwa liar. Hal ini amat memungkinkan produsen kopi untuk menggunakan jalan pintas demi memperbanyak produksi kopi luwak. Belum lagi harga kopi luwak yang menggiurkan memungkinkan produsen menghiraukan standar kesejahteraan luwak untuk meningkatkan keuntungan.
Hingga saat ini, sulit sekali untuk menemukan kasus eksploitasi luwak yang ditanggapi secara serius hingga berujung pada sanksi seperti denda atau pidana. Hanya ada tiga kasus hukum seputar kopi luwak yang penulis bisa akses sejauh ini. Kasus pertama tidak terkait standar kesejahteraan luwak, melainkan terkait pajak izin bisnis pada tahun 2017.
Pemilik Jati Harum Luwak Coffee, I Made Ari Wirajaya dijatuhi hukuman denda Rp 10 juta atau satu minggu kurungan akibat tidak adanya izin-izin dalam mendirikan bisnisnya. Dikutip dari NusaBali.com, "Dengan menimbang pasal tersebut maka terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penyidik, yakni tidak memiliki IMB dan izin-izin lainnya, dengan menjatuhkan denda sebesar Rp 10 juta, yang apabila tidak dibayar dapat diganti dengan kurungan selama 1 minggu," ujar majelis hakim pada Selasa (21/11/17).
Melihat kasus tersebut, produsen kopi luwak terjerat sanksi denda karena adanya masalah dengan izin bangunan dan bisnisnya. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun ada produsen kopi luwak yang dibawa ke meja hijau, kasus yang menjerat produsen tersebut bukan karena persoalan kesejahteraan luwak melainkan persoalan izin bangunan. Ada pula bentuk penyitaan luwak oleh aparat hukum, tetapi penyitaan tersebut hanya sebatas karena ketidaklengkapan dokumen dan bukan karena menindaklanjuti kesejahteraan luwak yang akan ditangkar.
Dikutip dari NusaBali.com, ditemukan lima ekor anak kucing hutan serta dua ekor luwak dalam dus. Satwa-satwa tersebut dibawa oleh tersangka Muh Eka Putra disaat dirinya mengendarai motor. Tidak adanya dokumen-dokumen untuk membuktikan kesehatan hewan-hewan tersebut, petugas kepolisian pun menyita satwa-satwa tersebut pada Senin (15/8/16). Namun, selain penyitaan tersebut tidak ada tindak lanjut denda atau pidana bagi tersangka.
Lebih parahnya lagi pada 2015 Kepala Dinas Pariwisata Lampung Barat, Ujang Misron, justru meminta adanya toleransi terhadap pengusaha kopi yang memelihara luwak untuk keperluan produksi kopi luwak. Mengutip dari Cendana News, "jika harus menjalani proses hukum, mereka diberikan keringanan karena selama ini mereka banyak yang tidak mengetahui luwak yang diperbolehkan untuk ditangkar atau yang tidak" ujar Ujang, kamis (12/3/2015). Hal ini juga menunjukkan bagaimana kepala Dinas Pariwisata Lampung Barat lebih memilih untuk meringankan proses hukum bagi pelanggar ketimbang menyuarakan sosialisasi terkait penangkaran luwak yang baik dan benar.