Lihat ke Halaman Asli

Pemenang

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ini seorang pemenang. Dan aku enggan mengalah. Siapa yang tak ingin menjadi seorang pemenang? Bukan kah menjadi seorang pemenang itu menyenangkan? Berdiri diatas panggung kemenangan, tersenyum dengan tepukan ramai orang-orang.
Kamu tahu kan aku tak suka mengalah? Kamu tahu kan aku suka tantangan? Kamu tahu kan aku ini seorang pemenang. Selalu. Dan aku pun tahu, kelak aku akan menang.
Semua orang bilang aku ini bodoh, bisa-bisanya masih mengharapmu. Tidak hanya sekali , dua kali, aku mendapatkan kecaman untuk segera melupakanmu. Tapi bisa apa aku?
Aku bukan orang yang suka menyerah. Aku rasa kamu tahu itu. Bukan kah sebuah keberhasilan akan tercapai saat kita memahami kegagalan dan terus berusaha? Dan semua upaya itu aku lakukan untukmu. Boleh kan?
Aku tahu, mungkin aku bukan hanya sekedar bodoh namun juga gila. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Kamu jelas tahu itu. Selama tujuh tahun ini aku masih saja mendoakanmu. Bahkan bahwa kenyataannya kamu menolakku mentah-mentah, pada kenyataannya kamu menyuruhku menjauh pergi, pada kenyataannya kamu bergidik mual tuk sekedar menatapku.
Aku suka menang. Karena itu berulang kali aku membuat para lelaki itu kalah. Tidak hanya sekali, dua kali. kamu tahu? Semua itu aku lakukan hanya demi sebuah kemenangan. Ya, itu kamu!
Kamu mungkin tidak tahu. Keyakinanku hanya satu, bahwa kamu adalah cinta sejatiku. “Miris”. Itu kan yang ingin kamu katakan saat kita saling bertemu pandang? Nyatanya hanya suara angin yang bersua saat kita melepas pandang.
Aku yakin dan aku sanggup menunggu bahkan 100 tahun lagi,  jika itu maumu. Iya aku tahu, kamu akan tersenyum menghina jika kata-kata itu kulontarkan dari mulutku.
Sungguh  selama tujuh tahun ini kupercayakan keajaiban dari doa yang kupanjatkan pada illahi. Demi menanti hari ini. Ya, demi hari ini. Kamu menggunakan pakaian putih rapih kontras dengan merahnya pelaminan. Kamu tersenyum manis padaku. Aku pun balik tersenyum. Sungguh ini begitu manis. Kamu sambut tanganku dengan lembut lalu kamu dekap erat diriku. Beberapa detik kemudian aku melepas rangkulanmu.
“Selamat ya, Van………….,” ucapku terpotong, tak mampu melanjutkan.
“Iya,” kamu tersenyum canggung padaku.
“Langgeng sama istrimu,” tambahku tercekat.
Bukankah kini memang aku telah menang? Ya, tentu saja aku lah pemenangnya. Menang untuk menyakini bahwa kamu adalah satu-satunya cinta sejatiku? Lalu mengapa ada sesak yang membuncah ketika kemenangan itu terjalin? Bukan kah kemenangan itu menyenangkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline