Lihat ke Halaman Asli

Mayritza Aurel

Mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya

Inklusivitas Menepis Mispersepsi, Ada Maksud Lebih Luas dalam Feminisme!

Diperbarui: 12 Desember 2023   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di zaman ini, sangat jarang yang asing dengan kata “feminisme”. Meski tidak tau artinya, masyarakat sedikitnya mengerti maksud dari gerakan ini, sebagaimana berbagai sosial media telah menjadi media menyebarluaskan pandangan soal feminisme dan berupaya membuat orang-orang “melek” akan keharusan mengapa hal tersebut tidak lelah disuarakan. Gerakan ini membuat orang-orang tersadar akan eksistensi perempuan yang bisa berada dengan garis yang sama dengan laki-laki, namun seringkali gerakan ini jadi disalahpahami dan disalahartikan. Feminisme, sejatinya, bukan hanya sebagai perjuangan untuk hak-hak perempuan. Feminisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan mencapai kesetaraan gender secara menyeluruh.

Definisi itu menjadikan hal ini berarti penting untuk diingat, bahwa semua gender dapat mengalami ketidaksetaraan dan diskriminasi. Dalam upaya untuk menciptakan masyarakat yang adil, feminisme merangkul gagasan bahwa tantangan dan ketidaksetaraan tidak terbatas pada satu kelompok gender saja. Kesetaraan gender dalam feminisme melibatkan pengakuan dan penanggulangan berbagai bentuk diskriminasi. Selain itu, gerakan ini memastikan bahwa setiap individu, tidak peduli jenis kelamin atau identitas gendernya, memiliki hak yang sama untuk meraih potensi penuh mereka dan hidup tanpa ketidaksetaraan dan diskriminasi. Dengan demikian, feminisme bukan hanya gerakan untuk satu kelompok, melainkan sebuah perjuangan bersama untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan setara bagi semua.

Meski begitu, inti gerakan feminisme kerap kali kalah dengan asumsi masyarakat yang belum paham betul dengan feminisme. Suara-suara yang ada di internet membentuk persepsi mereka bahwa feminisme adalah gerakan anti-lelaki, tidak terikat pernikahan, kebebasan pilihan memiliki anak atau tidak, my body my choice, dan lain sebagainya. Contoh-contoh tersebut bukanlah inti dari feminisme, tapi justru karena merekalah feminisme jadi semakin disuarakan dan dikenal. Padahal, ada potongan yang lebih besar di balik peristiwa-peristiwa kecil itu. Jika anda menganggap bahwa feminisme adalah hal serupa yang disebutkan barusan, maka anda perlu melihat gambaran besar yang dituturkan dengan tepat. Karena, contoh yang membentuk persepsi itu hanyalah buntut dari feminisme, yang tidak wajib bagi penggerak feminisme untuk menganut hal-hal tersebut. Feminisme bisa dilatarbelakangi oleh stereotip yang mengasumsikan bahwa perempuan lebih baik dalam pekerjaan yang terkait dengan kepekaan emosional dan keahlian interpersonal, seperti pekerjaan di bidang keperawatan atau pelayanan. Ini dapat mengurangi kesempatan perempuan yang memiliki minat atau bakat di bidang lain, seperti sains atau teknologi untuk lebih menggali dan mengembangkan potensinya. Namun meski begitu, feminisme sejatinya bukan niat untuk mendominasi. Berada di posisi dan porsi dimana umumnya laki-laki juga bisa berada, itulah feminisme.

Feminisme ini jangan dianggap hanya memperjuangkan menguntungkan satu sisi. Laki-laki pun sering dihadapkan pada stereotip bahwa mereka harus memenuhi norma-norma maskulinitas tertentu, seperti kekuatan fisik dan ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi. Hal ini dapat merugikan laki-laki yang mungkin memiliki minat atau kualitas yang tidak sesuai dengan stereotip tersebut, serta menciptakan tekanan psikologis yang signifikan. Begitupun dengan asumsi bahwa pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak adalah tanggung jawab utama perempuan. Hal ini tidak hanya membatasi pilihan perempuan untuk meraih karir di luar rumah, tetapi juga merugikan laki-laki yang mungkin ingin berkontribusi lebih aktif dalam pekerjaan rumah tangga. Selain itu, ekspektasi bahwa laki-laki tidak seharusnya menunjukkan emosi atau kelemahan dapat  merugikan laki-laki dengan membatasi ekspresi emosional mereka, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan hubungan interpersonal mereka.

Kelas Teori Komunikasi dan Postmodernisme Dr. Geofakta Razali menyebut, bahwa feminisme dalam era postmodern juga didukung oleh teori cendekiawan Nancy Fraser. Dikatakan oleh Dr. Geofakta Razali bahwa konsep teori Fraser, "justice as parity" atau "keadilan sebagai kesetaraan", menyoroti pentingnya mencapai kesetaraan tidak hanya dalam distribusi ekonomi tetapi juga dalam pengakuan sosial dan partisipasi politik. Sesungguhnya, perjuangan feminis tidak hanya berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi perempuan, tetapi juga dengan pengakuan atas kontribusi dan peran mereka di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hak ekonomi dalam pandangan Fraser mencakup lebih dari sekadar kesetaraan gaji atau akses perempuan ke lapangan kerja; ia mencakup juga hak perempuan untuk diakui sepenuhnya sebagai warga masyarakat yang memiliki peran penting dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Merespon mispersepsi, feminisme juga bukanlah usaha untuk mendominasi satu gender atas yang lain, melainkan untuk menciptakan lingkungan di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengembangkan potensi penuh mereka tanpa terhambat oleh stereotip atau norma gender yang membatasi. Menyalahkan atau mengklaim bahwa feminisme hanya menyoroti isu-isu perempuan adalah bentuk pemahaman yang perlu digali lagi. Kesetaraan gender, seperti yang diperjuangkan oleh feminisme, membawa manfaat positif bagi masyarakat secara keseluruhan dengan menciptakan lingkungan yang inklusif, adil, dan berkeadilan. Oleh karena itu, meresapi nilai-nilai kesetaraan yang terkandung dalam gerakan feminisme membantu mengatasi ketidakadilan pada semua tingkatan, membuka jalan bagi pembentukan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Selain itu, dengan melibatkan kerjasama pria dalam perjuangan ini, kita membuka pintu untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang pengalaman gender. Pria dapat membantu mendukung perempuan dengan menjadi sekutu yang efektif dalam memerangi ketidaksetaraan dan diskriminasi. Selain itu, melibatkan pria dalam feminisme membuka ruang untuk mendiskusikan tekanan dan ekspektasi yang tidak realistis yang juga dapat memengaruhi mereka dalam konteks peran gender. Pria sering kali dihadapkan pada norma-norma sosial yang membatasi ekspresi emosional, menghakimi mereka yang tidak sesuai dengan stereotip maskulinitas. Dengan demikian, partisipasi pria bukan hanya tentang mendukung perempuan, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, dapat membebaskan diri dari pembatasan-pembatasan ini. Dalam kerangka ini, partisipasi pria bukan hanya suatu kebutuhan, tetapi juga merupakan langkah strategis menuju masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua. Dengan sama-sama membantu, maka kesetaraan dan inklusivitas dapat terwujud melalui gerakan feminisme.

Mayritza Aurel, Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Jaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline