Lihat ke Halaman Asli

Merapi, antara Harapan dan Ancaman

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari pagi, siang, sore, sampai malam hari, Merapi selalu memiliki pesona tersendiri. Dari rumah saya di daerah Kabupaten Kulon Progo (kurang lebih berjarak 50 km dari lereng Merapi), gunung teraktif di dunia ini tetaplah tampak kokoh berdiri sebagai salah satu jangkar bumi. Baik pra maupun pascaerupsi tahun 2010 lalu, baik Merapi berwarna biru maupun abu-abu dari kejauhan, Merapi tetaplah Merapi yang indah. Apabila panorama Merapi selalu indah, apakah pascaerupsi, kehidupan penduduk lereng Merapi masih seindah dulu? Ataukah juga berubah menjadi abu-abu?

Penduduk yang berada cukup jauh dari Gunung Merapi lebih banyak mendapatkan rezeki dari setiap geliat Gunung Merapi, seperti penduduk di desa saya. Setiap kali hujan deras melanda kawasan Merapi, hampir setiap kali pula air Sungai Progo meluap. Rezeki dan musibah, itulah yang dibawa oleh banjir lahar dingin Merapi. Ikan yang melipah berenang bersama laju arus Sungai Progo. Tapi di sisi lain, tanggul di desa saya yang sudah tua dan rapuh harus menghadapi gempuran arus sungai yang cukup kuat untuk menjebolkan tanggul.

Beberapa bulan yang lalu, tanggul di desa saya, desa Banaran, memang sempat menjadi pusat perhatian. Banjir lahar dingin Merapi memperparah kondisi tanggul di desa kami. Hampir setiap malam laju arus sungai menggerus tanah yang menjadi penopang utama tanggul. Beberapa sawah penduduk di desa saya juga harus menjadi korban. Tapi, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Banjir lahar dingin juga memberi rezeki lebih untuk para penambang pasir di sekitar Sungai Progo. Pasir berkualitas dengan jumlah dan harga yang juga berkualitas. Selain itu, untuk sementara tanggul yang hampir jebol juga menjadi objek pariwisata sementara. Penduduk di desa saya mendapat mata pencaharian baru dari sewa parkir, jual-beli camilan dan mainan anak-anak, serta menjadi buruh untuk perbaikan tanggul.

Begitulah sedikit potret kehidupan penduduk di daerah saya. Tidak selamanya lahar dingin Merapi menjadi musibah, tapi menjadi rezeki. Namun demikian, keadaan di desa saya yang terletak jauh dari Gunung Merapi, pastilah berbeda dengan penduduk di lereng Merapi.

Awalnya saya berpikir kalau setelah erupsi Gunung Merapi, berakhirlah sudah ancaman Merapi. Namun, Merapi oh Merapi, masih banyak misteri yang kamu miliki, begitu kata sebagian orang. Biarlah Merapi tetap menjadi misteri karena itulah salah satu nilai eksotis Merapi. Gunung berapi teraktif di dunia dengan berbagai kisah dan panorama yang unik.

Kambali tentang harapan dan ancaman Merapi. Erupsi Merapi dua tahun yang lalu menghadirkan ratusan relawan yang mengemban tugas-tugas kemanusiaan di sana. Ada sebuah pengalaman dari kakak mentor saya yang menjadi salah satu relawan Merapi, yang sampai saat ini terngiang-ngiang di hati dan pikiran saya. Inilah sedikit pengalaman kakak mentor saya itu.

Kakak mentor saya menjadi salah satu relawan yang mengajar anak-anak SD di sekitar lereng Merapi. Fiuh…. Bersahabat dengan bahaya, itulah kakak mentor saya dan seluruh anak yang bersekolah di daerah lereng Merapi. Setiap kali bunyi alarm tanda bahaya terdengar dari kejauhan, yang tidak lama kemudian disusul oleh petugas yang dengan sigapnya memperingatkan semua anak dan relawan untuk segera pergi meninggalkan sekolah sementara menuju ke tempat yang lebih aman karena lahar dingin Merapi kembali melancarkan manuver. Situasi seperti ini tidak hanya sekali terjadi. Kakak mentor saya dan semua anak kecil di sana harus selalu berlomba dengan waktu ketika ancaman lahar dingin Merapi mendekat. Bagi saya, menakutkan memang, tapi menguji adrenalin pastinya! Akan tetapi, bagi para relawan bukan masalah menguji adrenalin, tapi mengabdikan diri untuk membantu masyarakatlah yang paling penting.

Bukan hanya kehidupan manusia yang berubah di sana, kehidupan alam Merapi pun berubah. Alam Merapi yang dulu pasti berbeda dengan yang sekarang. Namun, hampir semua masyarakat di lereng Merapi menolak untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman. Mungkin alasan mereka adalah “Merapi adalah tempat tinggal kami”. Merapi memang adalah rumah mereka yang selama ini menemani hari-hari mereka, sejak fajar menyingsing sampai kembali tenggelam di ufuk barat.

Erupsi Merapi membuat sebagian besar kawasan Merapi terselimuti abu vulkanik. Hutan yang dulunya subur dan dihuni oleh berbagai jenis tumbuhan dan hewan harus menjadi areal yang kering dan gersang. Akan tetapi, abu vulkanik dan berbagai material hasil erupsi Merapi juga membawa rezeki yang melimpah bagi penduduk di sekitar lereng Merapi.

Abu vulkanik dapat menyuburkan tanah di areal Merapi karena mengandung kadar mineral allophan yang sangat tinggi. Menurut Totok Nugroho (2011), allophan adalah aluminosilikat amorf yang dapat membentuk ikatan kompleks jika bereaksi dengan zat organik. Beliau menambahkan bahwa sifat inilah yang membuat abu vulkanik gunung berapi sangat baik untuk bercocok tanam dan dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik.

Selain itu, dengan pengolahan yang tepat, abu vulkanik dapat diolah menjadi produk kerajinan, seperti gerabah dan keramik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Totok Nugroho (2011), “UPT-PSTKP Bali telah memanfaatkan abu vulkanik Gunung Merapi dan Gunung Bromo sebagai bahan glasir keramik dengan suhu pembakaran setinggi 1250oC. Keunggulan bahan abu vulkanik Gunung Merapi dan Gunung Bromo adalah dapat diterapkan secara tunggal tanpa tambahan bahan apapun, dapat pula dengan menambahahkan kapur dengan prosesntase >10%. Hasil yang diperoleh adalah glasir keramik bersuhu tinggi dengan warna hitam dan coklat dop.”

Hasil erupsi Merapi lainnya yang juga dapat dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar Merapi adalah bebatuan dengan berbagai bentuk dan ukuran yang terhempas bersama erupsi Merapi dua tahun yang lalu. Bebatuan tersebut bersama areal yang dilalui wedhus gembel menjadi objek pariwisata yang menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara.

Merapi, gunung berapi teraktif di dunia ini menyimpan banyak harapan sekaligus ancaman bagi penduduk di sekitar lereng Merapi, bahkan bagi penduduk yang berjarak puluhan meter dari lereng Merapi. Erupsi Merapi memang menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian moral maupun material. Akan tetapi, tidak sedikit pula harapan yang bersumber dari erupsi Merapi. Dengan pengolahan yang tepat dan bertanggung jawab, dampak erupsi Merapi yang berupa kenampakan alam maupun material hasil erupsi dapat menjadi objek pariwisata dan sumber mata pencaharian baru bagi penduduk. Oleh karena itu, Merapi adalah salah satu anugerah dari Allah SWT yang harus selalu disyukuri.

Daftar Pustaka

Totok Nugroho (2011). BPPT Manfaatkan Abu Vulkanik Gunung Merapi dan Bromo sebagai Bahan Glasir Keramik. Diambil pada 19 Mei 2012 dari http://pstkp.bppt.go.id/index.php?option=com_content&view=frontpage

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline