Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Lian

Diperbarui: 22 Januari 2017   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Jalanan ini sudah berubah. Gaduh. Suara klakson mobil beradu dengan deru kendaraan yang  memadati jalan raya, memekikkan telinga. Jauh lebih bising daripada dulu. Sementara sepuluh tahun yang lalu, ada, tempat di seberang jalan raya, berupa tanah lapang yang cukup luas untuk bermain bola. Dan aku biasanya menunggu sembari tak henti menatap wajah seorang anak laki-laki ketika ia bersama teman-temannya menggiring bola ke gawang yang terbuat dari potongan-potongan bambu.

 Sekarang, jejak kaki telanjangnya di tanah basah tak lagi kutemukan. Aku mulai merindukan percakapan-percakapan sederhana itu. Ah, mengapa memori itu mendadak mengelilingi pikiranku?

 Sepuluh tahun yang lalu, di tempat ini selalu ada aroma lumpur yang tertinggal setiap kali hujan turun dari kaki-kaki langit. Butirannya melesat turun ke atap rumah, ke dedaunan, lalu jatuh meresap tanah—menumbuhkan beberapa kelopak mawar liar. Namun, kini yang nampak di mataku hanya bangunan pusat perbelanjaan dan baliho yang terpampang cukup besar. Pohon kersen itu telah mati. Hampir tak ada tanaman, kecuali beberapa rumput yang tumbuh di samping pagar.
 Beberapa hal memang berubah, tetapi bagian yang tak kumengerti, aku masih saja merindukan mata bening bak sepasang telaga miliknya. Di mana ia sekarang? Aku tak pernah tahu kabarnya  lagi semenjak lelaki itu memutuskan pergi meninggalkanku, meninggalkan tempat ini beserta serentetan kisah yang telah terkemas menjadi sejarah.

 Rasanya baru kemarin kami bermain bersama. Di sini, di tempat ini. Dan, tiba-tiba sudah sepuluh tahun.
 Buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.    

 “Pakai crayon yang biru atau yang hijau?”

 “Biru, pakai yang biru, Va.”

 Va, seorang gadis kecil yang lebih sering bertahan dengan pendiriannya, mendadak menjadi perempuan penurut. Va  menuruti perintah-perintahnya bagai murid kepada gurunya.

 Bagi Va, Lian seperti guru. Ia terlihat hampir sama denganku, juga anak-anak lainnya tentu saja, karena badannya yang tak seberapa tinggi itu. Akan tetapi, aku mengaguminya. Ia terlihat lebih dewasa bagi anak seumurannya. Mungkin itu yang membuat ia selalu terpilih dan tampil menjadi kapten teman-temannya saat bermain bola. 

 Aku berputar-putar di tempat ini sendirian, dengan kaki telanjang. Sekelebat, di mataku seakan menangkap sepasang anak. Seorang laki-laki dan perempuan sedang asyik mengobrol dan berdebat. 

 “Mau ini?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline