Rohingya merupakan golongan kelompok etnis yang telah diusir dari kawasannya sendiri di negara Myanmar. Konflik antara golongan ini dengan negaranya telah dimulai semenjak tahun 1977 ketika pemerintahan Myanmar di kala itu meluncurkun Operation Dragon King ke daerah Rakhine yang merupakan kawasan yang ditempati oleh kaum etnis Rohingya (MSF, 2019).
Operasi tersebut bertujuan untuk menangkap dan memperlakukan warga etnis Rohingya selayaknya kelompok ilegal yang masuk ke dalam negara. Termasuk dengan melakukan kekerasan hingga penyiksaan terhadap mereka. Sehingga, di masa itu juga warga etnis Rohingya itu dicabut kewarganegaraannya dan memulai siklus forced displacement yang terjadi di tahun-tahun berikutnya.
Gelombang besar kaum Rohingya yang kedua datang di tahun 2017 ketika terjadi konflik antara kelompok militia dengan militer Myanmar yang menyebabkan kurang lebih 700 ribu populasi Rohingya pergi ke Bangladesh. Fasilitas kesehatan dan kemanusiaan lainnya yang tersedia di dalam kamp di Cox's Bazar tidak dapat mengatasi gelombang yang datang sehingga sinyal kepada dunia internasional segera diluncurkan untuk memberi bantuan humanitarian (MSF, 2019). Sehingga, selepas dari tahun 2017 itu banyak warga Rohingya yang masih terus berdatangan. Populasi Rohingya menjadi terus naik hingga mencapai jumlah lebih dari 1 juta di dalam kawasan Cox's Bazar saja.
Keberadaan kelompok Rohingya di dalam Bangladesh dengan jumlah yang besar bukanlah tanpa alasan. Pada masa itu banyak sekali negara besar yang menutup batas wilayahnya apabila menyangkut pengungsi seperti Rohingya namun Bangladesh justru menerima mereka dengan lapang dada.
Oleh karena itu, Bangladesh memegang status sebagai negara dengan jumlah pengungsi Rohingya terbanyak di dunia. Diketahui, terdapat 2 hal yang dapat menjelaskan aspek ini yaitu solidaritas muslim dan kemanusiaan serta warisan dari trauma di masa lalu Bangladesh.
Menurut Tazreena Sajjad (2020), setelah melakukan wawancara terhadap beberapa pihak yang ada di Bangladesh, islam menjadi dasar utama dari kebanyakan warga yang telah membantu. Karena warga Rohingya yang diusir kebanyakan beragama islam, serta fakta bahwa agama menjadi alasan utama dari kekerasan yang mereka alami, maka hal itu yang menyebabkan munculnya perasaan solidaritas terhadap mereka. Selain itu, dasar kemanusiaan juga menjadi motivasi bagi Bangladesh untuk membantu warga Rohingya.
Seperti yang dikatakan oleh Perdana Menteri Hasina pada awalnya yang dengan terus terang menyatakan bahwa Bangladesh dapat membiayai warganya serta warga Rohingya. Sehingga, bagi Bangladesh pada saat itu tidak ada masalah untuk menerima Rohingya masuk ke dalam wilayahnya. Unsur zakat dan membantu orang yang kekurangan juga menjadi alasan bagi Bangladesh untuk membantu Rohingya. Bahkan banyak dari warga lokal yang berkecukupan ikut menyumbang terhadap kamp pengungsian atas dasar keinginan untuk bersedekah.
Kemudian, alasan yang kedua adalah Bangladesh yang dapat bersimpati dengan warga Rohingya atas kesulitan serta kekerasan yang telah dialami. Hal ini didasarkan kepada trauma masa lalu Bangladesh. Bangladesh yang telah merasakan periode konflik di bawah Pakistan di masa lalu merasa bahwa dengan adanya warga Rohingya yang datang dan meminta bantuan tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa adanya negara yang menaungi. Sehingga, Bangladesh menerima mereka dengan senang hati karena mereka telah tahu bagaimana rasanya tersiksa di bawah rezim yang menindas warganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, tanggapan yang diberikan oleh warga lokal Bangladesh kian berubah drastis. Terdapat 3 fase yang bisa menjelaskan fenomena ini (Ansar dan Khaled, 2021). Fase pertama adalah ketika warga Rohingya datang secara berbondong-bondong di tahun 2017. Di fase ini, tanggapan yang diberikan oleh warga dan pemerintah cukup baik. Mulai dari memberikan bantuan, tempat tinggal, makanan, hingga fasilitas kesehatan. Hal ini juga menunjukkan cerminan dari alasan yang ditunjukkan di paragraf sebelumnya. Solidaritas yang ditunjukkan ini tersebar baik di level lokal domestik maupun level nasional serta dilakukan oleh pemerintah dan warganya.
Lalu, fase kedua dimulai ketika adanya organisasi, baik lokal maupun internasional, yang mulai mengambil alih manajemen dari situasi yang ada (Ansar dan Khaled, 2021). Fase ini memberikan perspektif yang baru kepada warga lokal mengenai dampak yang diberikan kepada wilayahnya.
Kemudian, datanglah fase ketiga ketika rasa solidaritas yang tadinya diberikan kepada kaum Rohingya mulai berubah menjadi rasa tidak suka. Dampak yang terjadi terhadap komunitas lokal menjadi cenderung merugikan dibandingkan warga Rohingya. Misalnya saja bantuan yang diberikan oleh bantuan humanitarian selalu difokuskan kepada kelompok pengungsi Rohingya tanpa memerdulikan situasi lingkungan dan ekonomi bagi warga lokal.