Lihat ke Halaman Asli

Pedestrian

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384161092444320569

[caption id="attachment_300951" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] satu-satu melangkah, jeda dari ketergesaan. mengacuhkan setiap tatap, namun bukan ratap. biar saja sinisme itu sibuk sendiri, acuhkan. pun setiap kata-kata rayuan. kamu hanya perlu mengingat, meminjam kenangan terakhir mereka yang telah pergi. menangislah, doakan tanah kita dimana  darah telah ditumpahkan dan kematian menjadi penebus. "kenang-kenanglah kami." sesederhana itu. tapi lihatlah kenyataan, ketika kamu duduk diam di trotoar, ketika ikan-ikan mati dengan tonjolan di perutnya dan orang-orang menjadikannya sebagai lauk, atau para perempuan yang terpaksa berperang di gunung-gunung demi hak waris mereka. apa yang terjadi? bukankah kita semua telah bebas meneriakkan kata merdeka? apakah semua itu sekedar hiburan belaka, pengalih perhatian? sementara para monster lintah  menghisap minyak, emas, dan tradisi-tradisi kita? jangan tanya bagaimana mereka mencemari segalanya, atau merusak tatanannya, hingga ke kursi-kursi yang dipinjamkan atas nama amanat, atas nama rakyat Indonesia. ... ... ... oh, nona kecil, lihat bagaimana udara yang kau hirup telah menjadi paku-paku karatan yang menusuki kepala dan jantungmu! seberapa jauh kau telah berjalan? tunggulah sampai kau melihat semuanya... ...atau tidak. ya, 'melihat semua' itu teramat berat. cukup tanggalkan stilettomu, pakailah sepatu kanvas, dan.....aller où vous voulez! lihatlah sekali lagi, bagaimana gambar-gambar itu bercerita, padamu, padanya, pada mereka. maka, heninglah. #noter pour moi, qui parfois incroyable fou.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline