Lihat ke Halaman Asli

Januari dan Luka Hati yang Abadi

Diperbarui: 30 November 2020   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : https://weheartit.com/cafeandgelato

15 Januari,

Derasnya hujan menemani manusia sibuk yang masih berlalu lalang dibawah sinar rembulan. Semilir angin malam yang menyapu lembut menandakan jika pakaian hangat sudah seharusnya menyelimuti tubuh setiap orang saat ini. Di persimpangan jalan, tercium aroma roti hangat berbaur serasi dengan petrikor yang mengudara. 

Bel pintu yang berbunyi, alunan musik pop, panggilan pesanan, atau seseorang yang mengobrol dengan yang lain, membuat suasana kafe tak jauh bising dengan keadaan luar, yang berbeda hanya payung warna-warni tidaklah menjadi pelindung diri saat ini, melainkan atap kokoh sebuah kafe kecil dengan berbagai kue dan roti yang terpajang di etalase, ditambah minuman hangat menjadi menu menggiurkan malam ini.

“Hujan lagi ...” ucap gadis itu pelan. Mata tajamnya menyorot sang rembulan yang bersinar dengan terang, seakan menyombongkan diri jika ia sanggup bertahan dengan hujan deras di luar sana, “Payungku ada di rumah, aku meninggalkannya.”

Valerie, namanya. Seorang remaja di tahun terakhir sekolah menengah atas, tahun berikutnya ia akan menyandang status ‘mahasiswi’ sebuah universitas ternama di negeri itu. Kecerdasannya yang mengagumkan membuatnya menjadi salah satu gadis beruntung yang menerima beasiswa dari universitas impian setiap orang di negeri tersebut.

“Gadis yang kuat” adalah arti dibalik namanya. Setiap kali ia mengingat itu, bibirnya menarik senyum tipis, sendu. Ia sendiri juga berharap hatinya sekuat namanya, tapi kenyataannya, ia kehilangan dirinya sejak hari itu, bulan yang sama, tiga tahun lalu.

“Ke mana perginya mantelmu, Ri?” tanya gadis dengan rambut hitam legamnya mengkhawatirkan kondisi sahabatnya itu, biarpun tertutup, suhu kafe ini tetaplah dingin. “Entahlah, dingin ini sudah terlalu akrab denganku, rasanya aku sudah asing dengan kehangatan.”

“Semua yang terjadi bukan salahmu. Bukan kau yang mengatur apa yang akan terjadi. Jadi … berhenti menyalahkan dirimu Ri, dan bangkitlah!”

Tepat.

Persahabatan 10 tahun yang tak diragukan, Anna dapat membaca Valerie dengan mudah bagai sebuah buku, entah itu pikiran atau perasaannya.

“Kau tak mengerti, Ann.” lirihnya. Jantungnya berdegup kencang, hatinya seakan diremas sesaat memori itu kembali terulang, hujan yang semakin deras tak membuat suasana hati remaja itu membaik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline