Lihat ke Halaman Asli

Reporter Gila & Anak Kecil Pembual

Diperbarui: 20 Mei 2017   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Aku berusaha duduk dengan tenang, mengambil posisi yang paling nyaman. Di atas meja, duduk siaga cangkir keramik besar tanpa pegangan berwarna hijau lumut, yang sebenarnya untuk menyeduh teh - tapi siapa pula yang peduli, aku menyeduh kopi dari Timor Leste ke dalamnya. Panas-panas, pahit, kental dengan ampasnya yang memenuhi permukaan cangkir. Aku siap mendengarkan, aku siap kecewa, dan aku siap tergelak...jika dibutuhkan. 

  "Aku besar di kabupaten, kotanya kecil sehingga semuanya saling mengenal dengan baik. Angkongku* penjual lampu semprong dan wantex pewarna pakaian dalam kantongan kertas." wajahnya polos ketika bertutur. Namun aku sedikit bergerak dari kursiku, aku ingin tertawa, lampu semprong dan wantex pewarna pakaian? 

  "Papak tukang emas tapi juga memiliki etalase kayu kecil berbentuk huruf L, yang menyambung dengan meja kerjanya. Tempatnya menempa emas. Tidak banyak pajangan di dalam etalase itu, seingatku hanya batu-batu plastik, giok-giok imitasi, hanya sekedar supaya terlihat ramai. Mungkin juga ada beberapa pasang anting anak-anak yang beratnya tidak lebih dari setengah gram, hanya 5 kaca." lanjutnya dengan mimik wajah serius, sedikit terlihat bangga. 

  "Dan Mamakmu? Apakah yang dikerjakannya? Ibu rumah tanggakah?" tanyaku antusias, aku selalu tertarik jika itu tentang seorang ibu. Ibu jaman dahulu, jaman Soeharto.

  "Oh Mamakku? Oh Mamakku penjahit yang hebat," matanya mulai berbinar, lebih bangga lagi daripada ketika membicarakan pekerjaan Papaknya dengan batu-batu murahannya. "Di belakang meja kerja Papak, Mamak menjahit, ada mesin jahit biasa yang hitam itu dan juga  mesin obras bagus - semuanya merk SINGER. Mamakku jago potong pola, jahitannya juga halus dan Mamakku penjahit paling terkenal."

  Aku mencatat dalam ingatanku, kata-kata hebat, jago, dan terkenal menjadi satu dalam kalimatnya. Ah what a proud daughter! Aku tersenyum masam, mulai sangsi.

  "Iya Mamakku betulan jago, Mamak pernah menjahit beberapa pasang baju Toraja yang dipakai oleh model di iklan kopi Toraja. Iklannya diputar di Jepang, kopinya merk Toarco Jaya." si kecil ini rupanya tahu apa ada di benakku.

  "Oh...hebat yah," aku sedikit malu.

  "Iya benar, tanyakan saja kepada keluarga Tuan Hagiwara, mungkin direktur Toarco Jaya pada saat itu. Mamak bahkan juga diberi kalender berisi foto-foto anak perempuan Tuan Hagiwara yang kebetulan jadi model iklan kopinya sendiri." dia begitu detail dan defensif.

  "Oh baiklah, jadi Mamakmu seorang penjahit yang terkenal, dan bagaimana masa kecilmu sebagai anak seorang penjahit yang terkenal?"

  "Yang indahnya? Pada saat itu kami tidak tahu jika kami adalah anak-anak yang dilahirkan dari orangtua yang masih berjuang keras, sehari demi sehari. Karena banyak dari kami yang seperti itu, mungkin semua teman sepermainan kami. Kami belum mengerti bahwa kami hidup kekurangan. Masa-masa itu, kuhabiskan di belakang gang, ada lapangan kosong di ujung gang itu. Main bola, kasti, masak-masak, perang-perangan, sembunyi-sembunyi ( petak umpet ). Oh di belakang juga banyak warung kecil yang menjual segala jenis permen dan snack yang mungkin sekarang sudah tidak ada lagi. Hahaha, gula-gula berhadiah, telur cicak, wafer Superman,..." tawanya kekanakan. Aku ikut tertawa bersamanya, mengenang wafer Superman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline