Lihat ke Halaman Asli

"Saya, Caleg Gagal" Menurut Anda

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Assalamualaikum Wr. Wbr, selamat siang dan semoga kita dalam keadaan sehat walafiat, Merdeka!!”. Banyaknya pemberitaan media yang akhir-akhir ini memuat soal kekecewaan para Calon Legislatif yang dinyatakan gagal meraih suara signifikan dan (akan) gagal duduk di kursi legislatif. Diantaranya dikabarkan gila, prustasi, mengambil kembali “sumbangan” yang sudah diberikan selama masa kampanye, sampai ada yang membongkar pavingblock masjid, bahan bangunan jembatan karena memperoleh suara minim. Bahkan di Surabaya dikabarkan seorang Caleg dari PKB telah bunuh diri.

Meski masih dalam proses kampanye, di beberapa jejaring sosial dan media, ramai-ramai meliput soal ruang Rumah Sakit Jiwa yang telah disiapkan bagi mereka yang tidak kuat mentalnya dan gagal dalam seleksi pemilihan wakil rakyat. Sepertinya, kegagalan selalu diidentikkan dengan frustasi dan keterpurukan. Bukankah salah satu syarat dari KPU yang harus dipenuhi saat seleksi caleg dulu adalah adanya surat pernyataan sehat jasmani dan rohani yang dikeluarkan oleh Dokter spesialis kejiwaan? Lalu mengapa faktor kejiwaan ini acapkali sering tak teruji ketika fakta proses berkata lain ketika berhadapan dengan hasil.

Saya adalah salah seorang yang ikut bertarung dalam proses pesta demokrasi 2014 ini dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) daerah pemilihan III kabupaten Lombok Tengah bersama 108 orang lainnya dari 12 partai memperebutkan 9 kursi legislative dengan jumlah Data pemilih Tetap (DPT) di dua Kecamatan mencapai hampir 130.000 lebih.

Pemikiran awal yang terbersit di benak saya dulu pada saat memilih untuk maju dalam proses ini setidaknya dua hal. Pertama, sebagai kader dan pengurus partai tentu saja berkaitan dengan cita-cita kolektif kami di internal partai untuk mempersembahkan minimal 1 kursi “Mampukah Partai saya mencapai suara 14.000 untuk dapat memperebutkan 1 kursi di dapil?”dan kedua, keinginan pribadi saya untuk tetap menjaga proses politik yang baik, tanpa kecurangan dengan semangat untuk memberikan pendidikan politik yang baik bagi warga. Karna tanpa itu, maka politik tak lebih dari sekedar seremonial yang hanya akan mencetak daftar para pencari kerja dengan berbagai cara.

Berangkat dari niat tersebut, kerja-kerja pengorganisasian dilakukan, tak hanya kerja musiman, beberapa kelompok dampingan yang selama ini menjadi wilayah pendampingan dari jaringan-jaringan ekonomi perempuan, kelompok-kelompok, pada proses awal tetap memunculkan semangat baru bahwa kita ingin terus berbenah.

Sampai pada H-3 dan hari H pencoblosan, peristiwa demi peristiwa yang memang tidak kita setting untuk mengantisipasi kecurangan ternyata banyak dilakukan. Dan tentu saja 108 orang dengan berbagai macam persaingan tentu dapat melakukan banyak hal.

Apakah ini yang kita sebut berhasil? (ilustrasi Kliping koran Media Pembaruan, Senin, 14 April 2014)

Satu hari pasca pemungutan suara, suasana rumah kami masih saja ramai dikunjungi para relawan dan saksi yang menyerahkan formulir C1 hasil rekap suara di TPS. Meski tak seramai sebelumnya, wajah-wajah kecewa mereka yang bekerja dilingkar keluarga, kenalan dan sahabat hampir enggan mengangkat wajah. Mereka malu dengan hasil perolehan suara di TPS masing-masing.

Memang suara yang kami himpun tak terlalu signifikan di satu desa saja (desa saya) sukur bisa terselamatkan kurang dari 300 suara. Ada keluarga yang sebelum pemungutan suara sangat “rajin” bertandang kerumah, kini hanya mengkonfirmasi via telpon dengan mengatakan “basis keluarga diserang uang”. Saya tetap mengucapkan terimakasih padanya, Begitulah proses politik kali ini mengajarkan “sedikit suara jika tak ber-uang”.

Di hadapan mereka yang masih ingin datang sekedar memastikan kondisi kami, saya mengatakan “bagi kita, merawat keluarga dan masyarakat tak hanya selesai pada proses 9 April ini saja, kerja-kerja ke depan dan semangat harus tetap dijaga. Hal-hal yang mengecewakan dalam setiap proses itu akan selalu ada, pilihannya adalah kegagalan tak harus membuat kita lemah dan memutuskan tali persaudaraan”.

Merefleksikan kegagalan jauh lebih utama dari merayakan keberhasilan, karena dari keterpurukan kita akan banyak belajar dan mengenali siapa-siapa yang masih bisa bertahan tak terbeli meski dengan kondisi apapun, bahwa mereka adalah yang sadar bagaimana proses baik harus tetap dikedepankan.

Beberapa pertanyaan melalui BBM, SMS dan telpon gencar menanyakan “bagaimana hasil?” “semoga berhasil” “sudah ada kabar hasil?”. Yang saya catat dari itu semua adalah kita memang lebih banyak berorientasi pada hasil, dengan mengenyampingkan nilai proses. Apakah itu pula yang menjadi ukuran kegagalan dan kesuksesan? Jika Ia, maka kita telah berhasil mencetak angka, berhasil dan sukses dalam membangun cara yang instan. Dan saya termasuk yang gagal dalam hasil ini.

Guru politik terbaik yang pernah saya kenal adalah Bapak saya, beliau berprofesi sebagai kepala sekolah di salah satu Sekolah dasar Negeri. Bahwa padanya saya belajar bagaimana membangun mental, selama proses pencalegan sampai memasuki jadwal kampanye, hampir beliau sama sekali tak menyinggung atau meminta dukungan untuk pencalegan saya kepada rekan-rekan guru di sekolahnya, pada sahabat dan keluarga, karna saya menghormati profesinya sebagai guru. Pun Beliau menghormati pilihan saya untuk terjun dalam dunia politik. Ia pernah suatu kali menyatakan “saya selalu mendoakan semua anak-anak saya untuk ditetapkan pada pilihan hidupnya, untuk dapat mempertanggung jawabkan pilihannya dan tak lari dari kondisi apapun, sesulit apapun tetaplah jujur pada hatimu,” begitulah mental kami ditempa.

Maka, jika kini banyak yang mencemooh kami karena kegagalan, maka kami akan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena tanpa cemooh mental kami tak akan ditempa. Tanpa cemooh dan dicerca kami mungkin tak akan bekerja lebih baik. Dan untuk mereka yang mampu berbesar hati untuk mengapresiasi, maka kerja-kerja lebih baik dengan bergandengan tangan dan melangkah bersama semoga saja akan menjadi semangat untuk proses-proses selanjutnya. Tak pernah ada putus asa untuk pengabdian dan semangat tanpa batas. Salam dan Terimakasih. :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline