“Hoahhemmm…”. Wah masih pagi sekali rupanya, kulirik jendela kamar yang masih terlihat remang-remang. Aku terbangun dan langsung tak merasa mengantuk lagi. Duh, rasanya sayang karena hari ini aku libur, inginnya bermalas-malasan sampai siang. Tapi rasa resah yang mengganjal dan sukar didefinisikan sebabnya, membuatku bangun dari tempat tidur dengan enggan menuju kamar mandi.
Setelah mandi dan berpakaian, kuputuskan aku tidak akan bermalas-malasan dirumah hari ini. Harus pergi jalan-jalan, entah kemana, yang penting keluar rumah. Aku pergi dari rumah pukul 8 pagi kemudian naik mikrolet. Kulanjutkan denganpatas AC yang lewat jalan Sudirman. Sesungguhnya belum ada keputusan aku akan pergi kemana, yah kuikuti saja naluriku. Patas AC inilah yang biasanya kunaiki saat akan pergi ke kampus.
Didalam bus aku mendapat duduk paling belakang dan dekat jendela. Kunikmati perjalanan melewati gedung-gedung, pohon-pohon, orang-orang yang berdiri di halte seakan tidak pernah kulihat sebelumnya. Gedung-gedung disepanjang jalan Sudirman tampak lebih menjulang, lebih menyilaukan dan memikat dibanding biasanya.
Tiba-tiba orang yang duduk disebelahku turun di halte daerah Karet, dan secara impulsif aku mengikutinya. Akupun turun di halte Karet tanpa tahu tujuan akan kemana. Aku sudah sering melewati jalan ini, dan selalu bertanya-tanya bagaimanakah rasanya berjalan disepanjang trotoar yang lebar, dinaungi pohon-pohon rindang, menjadi bagian dari kumpulan pegawai kantoran, eksekutif muda,yang hilir mudik dijalan ini. Maka dengan hati riang, aku mulai berjalan di trotoar itu. Kalau orang lain tahu tentu mereka menganggapku aneh, karena aku berjalan ditrotoar yang lebar dan rindang ini sambil tersenyum lebar dalam hati.
Aku merasa senang sekali, kurasakan betapa trotoar yang lebar ini sangat nyaman untuk pejalan kaki. Kuterus berjalan sambil memperhatikan gedung-gedung tinggi yang kulewati, hotel Le Meridien, hotel Sahid dan perkantoran lainnya. Bila memungkinkan sesekali kuintip aktivitas apa saja yang terjadi didalamnya. Kulihat office boy Le Meridien tergopoh-gopoh membawakan kopor-kopor Versace milik tamu asing hotel itu, kuperhatikan pula petugas penyambut tamu yang biasa membukakan pintu mobil di lobby hotel Sahid yang mengenakan blangkon serta baju takwa Jawa pagi ini sudah tampak gagah siap bertugas. Beberapa pegawai yang berjalan didepanku yang mengenakan rok-rok mini, blazer atau kemeja pas badan dengan stoking hitam dan sepatu berhak tinggi jalan dengan terburu-buru.
Cukup jauh juga kuberjalan, ketika sampai didepan gedung Da Vinci tower aku sempat terdiam sesaat mengagumi lekuk-lekuk arsitekturnya. Kubayangkan seperti apa indahnya gedung-gedung tua yang asli di Eropa, karena yang tiruan saja sudah bagus sekali. Dengan menghela napas kuhapus sementara impianku untuk pergi ke Eropa menjelajahi gedung dan kota-kota tua disana. Ternyata aku sudah sampai di halte Setiabudi, lalu kupertimbangkan apa yang selanjutnya kulakukan.Akhirnya kulangkahkan kaki menaiki tangga penyeberangan yang baru dan seragam disepanjang jalan protokol, terbuat dari campuran besi dan aluminium, lalu masuk ke loket busway. Kubeli tiketnya, memasukkan kartu ke pintu masuk halte dan kutunggu datangnya bus merah itu.
Hanya sekitar 2 menit menunggu, sampailah busku. Dengan sopan dan sabar aku dan calon penumpang lain yang akan naik menunggu semua penumpang yang turun keluar. Setelah itu kami dipersilahkan masuk oleh petugas PAM busway, dan kami masuk dengan tenang. Ternyata pada jam 9-10 pagi busway sedang penuh-penuhnya. Aku berdiri sambil berpegangan pada gantungan yang tersedia. Walau berdiri aku tetap merasa nyaman karena semua orang berdiri dengan rapi, dan masih cukup banyak ruang sehingga masing-masing dapat berdiri dengan leluasa.
Tak berapa lama kemudian di pemberhentian Bundaran HI cukup banyak penumpang yang turun sehingga aku dapat duduk. Sambil duduk, diam-diam kuperhatikan penumpang disekitarku. Beberapapenumpang terlena dengan kenyamananan bus ini sehingga mereka tidur-tidur ayam.Ada ibu dengan dua orang anaknya, ada wanita muda dengan dandanan canggih, opa-opa yang sesekali kepalanya terhuyung-huyung kekanan atau kiri. Disisi lain pria-pria muda dengan kemeja licin dan dasi duduk dengan tatapan kosong, entah kedepan atau kebawah, mungkin sedang memikirkan pekerjaannya. Namun ternyata adapula penumpang yang sepertinya menikmati fasilitas busway seperti aku, mereka melihat kejendela dengan pandangan antusias, memperhatikan interior dalam bus, kemudian mengomentari ini itu bersama temannya.
Tanpa terasa ternyata sudah sampai di Stasiun Kota tempat pemberhentian terakhir. Akupun turun dan kembali memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya, kuputuskan berjalan-jalan saja. Didepan stasiun kota ada taman dengan dua kolam air mancur namun hari ini terisi air kotor, disana-sini tampak gundukan tanah mengotori jalan setapak dari semen. Ada seorang pengamen tua yang memainkan kolintang ditengah-tengah taman tepat dibawah jam taman. Kudengarkan sejenak, rupanya ia memainkan lagu rakyat dari Jawa yang aku lupa judulnya, lalu kumasukkan sedikit uang kedalam kaleng didepannya yang masih kosong.
Kuteruskan berjalan, sambil mengingat-ingat kalau aku tidak salah dekat denganstasiun kota ada sebuah museum. Kuputuskan akan mencarinya, aku kembali jalan ditrotoar, namun kali ini trotoarnya sempit dan lebih kotor. Gedung-gedung yang sebagian adalah bangunan tua tampak kotor dan tidak terawat. Sangat berbeda dengan gedung baru diseberangnya yang terlihat mentereng. Ternyata aku benar, tak lama kemudian aku sampai disebuah lapangan.
Lapangan ini namanya Taman Fatahillah, ada beberapa meriam yang diletakkan disini, dan beberapa pohon besar yang rindang meneduhkan. Lapangan atau taman ini berada didepan sebuah museum yang biasa disebut orang museum Fatahillah, padahal nama sebenarnya adalah Museum Sejarah Jakarta. Hari masih pagi, sekitar pukul 9.30 aku ragu apakah museum sudah buka, maka aku memutari lapangan itu kemudian memandang dari agak jauh karena ingin melihat tampak muka keseluruhan gedung tersebut. Dari jauh, gedung tersebut tampak megah dengan menara kecil berkubah hijau, bercat putih dan kusen jendela berwarna hijau.
Antara taman Fatahillah denganlobi museum terdapat tangga baik dari depan maupun samping kiri-kanannya. Kemudian aku berjalan mendekati lobi, dan melihat pintunya sudah terbuka. Ternyata museum ini buka rata-rata mulai pukul 9 pagi sampai pukul 1-2 siang setiap hari kecuali senin atau hari besar. Akupun masuk dan membayar karcis masuk sebesar Rp.2000. Setelah itu, seorang wanita muda langsung menawarkan diri untuk memanduku dan akupun setuju. Ternyata ia adalah seorang pemandu freelance yang bukan merupakan pegawai museum, sehingga aku harus memberikan komisi padanya. Aku mulai berpikir berapakah tarifnya? Apakah uangku cukup? Karena aku tadi tidak sempat memeriksa isi dompetku. Sementara itu ia mulai berceloteh menceritakan semua yang ada didalam museum ini.
Dilantai dasar hanya berisi ilustrasi sejarah Indonesia dan Jakarta secara umum, dan menurutku membosankan. Kenyataan yang sangat menarik dari keterangan si pemandu adalah bahwa gedung ini tadinya merupakan balaikota dan belum pernah dipugar sejak 300 tahun yang lalu. Aku sangat mengagumi ketelitian dan kepandaian orang-orang Belanda pada waktu itu karena dapat membuat bangunan yang kuat tanpa ada dinding yang retak sedikit pun. Walau bangunan ini dibuat dengan gaya eropa abad 18, tetapi penutup dan kusen jendela yang hijau serta daun-daun pintunya berwarna merah sedikit bergaya Cina. Menurut pemandu karena banyak kuli-kuli orang Cina yang dipekerjakan untuk membangun gedung ini pada waktu itu.
Kemudian kami ke halaman belakang, ada tiga gedung tambahan dari gedung utamanya. Dua gedung paling belakang tadinya merupakan kandang kuda yang sekarang menjadi kantor pegawai, sementara satu bangunan lagi tadinya adalah gereja. Selain itu juga terdapat sumur tua yang dulunya dikatakan sebagai tempat minum kuda serta terdapat meriam si Jagur. Kemudian kami melihat penjara bawah tanah tempat tawanan laki-laki disekap juga penjara wanitanya. Kubayangkan keadaan para tawanan yang ada dipenjara yang sempit dan gelap itu tentu sangat menyedihkan, apalagi penjara wanitanya yang langit-langitnya sangat rendah sehingga kita tidak bisa berdiri didalamnya.
Selanjutnya kami pergi kelantai dua, sebagian berisi keramik-keramik dan sebagian lagi berisi furniture jaman dahulu serta beberapa lukisan. Aku sangat tertarik melihat-lihat furniture dan ingin mengamati lebih lama, tetapi si pemandu tampaknya tidak sabar dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya. Diantara furniture yang ada aku sangat tertarik melihat tempat tidur untuk orang Belanda yang besar, dapat dibongkar pasang dan tanpa kasur dibanding milik orang Jepang yang serupa namun jauh lebih kecil.
Setelah selesai menceritakan mengenai isi museum ini, pemanduku mengisyaratkan bahwa sudah selesailah tugasnya. Dan aku pun memberikan sejumlah uang komisi yang masih tidak kuketahui apakah terlalu besar atau kecil untuk pemandu freelance. Kemudian aku menuruni tangga kembali ke taman Fatahillah, lalu kudekati semacam parit berisi air yang tadinya adalah penjara air. Tawanan yang dipenjara disana segera mati dalam beberapa hari karena banyak sekali lintah penghisap darah.
Selanjutnya aku kembali berjalan kearah taman stasiun kota tempat pemberhentian busway. Namun saat kumelirik kesisi kanan dan kiri taman fatahillah itu ternyata ada 2 musium lagi, Wayang dan Keramik. Wah mumpung aku sedang disini dengan waktu bebas yang jarang kumiliki, akhirnya kakiku pun melangkah ke sebelah kanan terlebih dahulu.
Ternyata musium keramik berisi berbagai gerabah, patung-patung tanah liat dan keramik dari berbagai jaman. Namun lagi-lagi yang menarik perhatianku adalah furniture kuno. Disana ada lemari gramofon tua yang cantik, lalu tangga dari besi tempa yang berukiran rumit dan sangat indah. Rupanyadisana juga sering diadakan kursus membuat keramik, tetapi hari ini tampaknya belum ada orang yang berminat.
Sasaranku selanjutnya adalah musium wayang. Aku suka melihat bentuk bangunannya yang ramping, dengan pintu dan kusen jendela dari kayu bercat merah yang terkesan tempoe doeloe sekali. Didalam sama sepinya dengan musium keramik tadi. Banyak sekali wayang dari berbagai negara, juga boneka-boneka kayu yang unik, cantik bahkan ada beberapa yang menurutku menyeramkan. Kali inipun yang menarik untukku adalah tangga yang seluruhnya terbuat dari kayu dan memiliki pegangan dari kayu dengan jejeran ukiran berbentuk ulir/pilinan yang cantik.
Setelah puas melihat-lihat dan karena sudah merasa lelah dan capek akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Tak lama kemudian aku sudah duduk manis dalam busway yang sejuk, aku pulang!
***
Hari inipun lagi-lagi aku bangun mendahului ayam jantan, tidak dapat tidur kembali. Dan tanpa kuketahuisebabnya, kembali aku merasa resah. Naluriku mendorong untuk kembali ke museum sejarah Jakarta. Yah kupikir dari pada bengong dirumah akhirnya aku bersiap-siap pergi. Hariini aku langsung naik busway yang kearah Kota. Sesampainya disana sekitar pukul 11 siang, segera saja aku berjalan menuju museum.
Karena sudah cukup siang, sudah banyak pengunjung terutama anak sekolah yang datang dan menyibukkan para pemandu. Diam-diam aku bersyukur karena kali ini aku ingin berlama-lama memperhatikan furniture sesukaku. Aku langsung naik ke lantai dua, dengan penuh penghargaan akan cita rasa seni yang tinggi yang dimiliki pembuat barang-barang itu kuperhatikan satu persatu.
Ada beberapa lemari besar dari kayu dengan ukiran yang digunakan sebagai tempat penyimpanan buku atau benda-benda pajangan. Ada pula lemari kayu dengan kaca yang besar sekali, diatasnya penuh ukiran rumit menggambarkan dewa kebenaran. Kuperhatikan pula pedang algojo yang dahulu digunakan untuk memenggal kepala.
Penyekat ruangan yang dahulu sering digunakan juga sangat indah. Terbuat dari kayu dengan ukiran rumit (kurasa buatan Jepara atau Bali) dan sepertinya ada cerita didalamnya. Dengan jariku, perlahan kususuri detil-detil ukiran.
Tiba-tiba kurasa jariku menyentuh jari lain. Ternyata ada orang lain disisi penyekat yang berlawanan melakukan hal sama dengan aku, dan dia laki-laki. Mata kami bertatapan melalui celah-celah ukiran penyekat, dan perutku mulai terasa aneh. Aku yang biasanya mudah tersenyum dengan orang yang tidak dikenal sekalipun, kali ini merasa bibirku kelu. Entah siapa yang memulai, kami masih bertatapan dan mulai bergeser kesamping. Seolah-olah tidak sabar untuk mengenyahkan penyekat yang membatasi pandangan. Setelah itu, kami yang masih bertatapan bisa melihat satu sama lain dengan jelas.
Uh ternyata dia tinggi juga, aku harus setengah menengadah memandangnya dan usianya mungkin sekitar 1atau 2 tahun diatasku. Ruangan lantai atas museum sudah sepi, mungkin anak-anak sekolah sudah selesai berkeliling. Hal ini membuat kami tidak menyadari sudah berapa lama kita saling bertatapan seperti ini. Secara keseluruhan yang menonjol dari dirinya adalah badannya yang tinggi-kurus serta sorot mata yang tajam.
Tampaknya ia pun mengamatiku, dan sepertinya aku tidak mengecewakan karena kulihat matanya berkilat senang saat melihatku. Padahalaku tidak tahu bagaimana aku tahu kilatan diamatanya adalah rasa senang.
Entah sudah berapa lama kami saling bertatapan seperti ini, dan mungkin masih akan terus selama beberapa waktu lagi kalau saja tidak ada suara gaduh dari bawah yang mengagetkan kami berdua. Laludengan agak canggung masing-masing melepaskan tatapan dan memandang kearah lain. Aku meremas-remas ujung kemejaku dan ia menggoyangkan kakinya dengan gugup. Selanjutnya masih ada beberapa detik yang terasa lama sekali kami masih sama-sama terdiam, akhirnya
“Ukirannya bagus sekali ya?”tanpa kusadari aku mengatakan itu. Tak kusangka aku akan berani memulai. Ia hanya mengangguk, lalu menyodorkan tangannya.
“Saya Norman.” Katanya memperkenalkan diri dengan singkat.
“Ehm Anggrek.”jawabku sambil menyambut tangannya. Ia tampak mengangkat alisnya saat mendengar namaku.
Ketika tangan kita bersentuhan, aku merasa hangat dan nyaman. TetapiNorman sudahmelepaskan genggamannya dalam beberapa detik.
“Ok senang berkenalan dengan kamu Anggrek.”tambahnya singkat lalu berjalan melewatiku dengan cepat bahkan sebelum aku menjawab
“Sama-sama.” Dengan setengah berbisik.
Rasanya aku masih bingung dan agak sedih karena ia segera pergi padahal kurasakan tadi sudah terjadi sesuatu antara kita. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi seperti ada sesuatu yang tersambung, terhubung, sesuatu yang menghangatkan dan membangkitkan rasa saat kita bertatapan tadi.
Sejenak kutundukkan kepala, menarik napas panjang lalu kuangkat lagi kepalakumengumpulkan kepercayaan diri. Kalau Norman tidak merasakan apa yang kurasa ya sudahlah. Lagipula aku samasekali tidak mengenal dirinya. Kuteruskan menelusuri furniture lainnya. Namun pikiran ini tidak dapat fokus sepenuhnya pada benda-benda itu. Huh menyebalkan, mengapa seseorang yang benar-benar asing untukku dapat membuatku merasa seperti ini.
Saat kutemukan lemari mungil dari kayu ebony berwarna hitam, aku mulai bisa memfokuskan diri. Kembali kutelusuri detail ukirannya dengan jariku. Disana banyak terdapat ukiran menggambarkan manusia tetapi tanpa kepala. Dengan heran aku berpikir mengapa mereka menempatkan gambar manusia tanpa kepala diseluruh permukaan lemari ini. Apakah ada hubungannya dengan pedang algojo tadi?
“Lemari itu tempat menyimpan daftar nama orang-orang yang akan dipenggal, makanya banyak ukiran manusia tanpa kepala.”tiba-tiba saja ada suara dari belakang mengejutkan aku. Cepat aku menoleh ternyata .. Norman!
Segera kutegakkan badanku,
“Oh begitu.” Sahutku ditambah anggukan tanda mengerti.
“Mmm mau berkeliling bersama?”tanyanya tanpa basa-basi, tanpa senyum yang segera kujawab
“ Tentu.” sambil menjaga supaya suaraku tidak terdengar terlalu antusias.
Aku senang sekali karena Norman kembali, dan mengajakku melihat-lihat furniture-furniture itu bersama. Berkeliling bersamanya terasa berbeda dibanding saat bersama sang pemandu, walau jelas pengetahuannya cukup banyak dan luas juga. Ia mengetahui cerita-cerita yang tidak diketahui pemanduku mengenai sejarah dibalik barang-barang tersebut. Tetapi ia membiarkan aku berlama-lama mengamati masing-masing benda dan bertanya tentang apa saja. Walau kami baru bertemu hari ini, sepertinya roh dalam museum mempertemukan dan membuat kami merasa sudah seperti teman lama.
Cukup lama juga kami disana, sampai diingatkan petugas bahwa museum sudah hampir tutup. Astaga dari pukul 11 pagi sampai 3 sore aku berada disana tanpa terasa! Kami pun berjalan keluar perlahan-lahan, merasa enggan untuk berpisah. Sesampai diluar lobi, matahari masih terik menyinari taman Fatahillah. Akhirnya kuucapkan terimakasih atas informasinya dan waktu yang menyenangkan siang ini lalu kuulurkan tanganku.
Sepertinya ia tidak begitu berminat, karena baru setelah beberapa saat ia menyambut tanganku. Kali ini tangannya tidak hangat malah terasa dingin dan berkeringat ditanganku. Kupikir sampai disini saja, dan segera kutarik tanganku. Saat tangan ini sudah hampir lepas seluruhnya dari genggamannya, tiba-tiba ia menarik kembali bahkan ia menarik seluruh tubuhku mendekat kearahnya. Wajah kami dekat sekali saling berhadapan, dan kembali kami bertatapan seolah saling mencari jawaban dalam kilau pandangan satu sama lain. Jawaban atas apa yang terjadi pada kami berdua hari ini di lantai dua museum Sejarah Jakarta.
Setelah beberapa saat kami bertatapan, kali ini ia yang memulai,
“Jangan pergi. Jangan sekarang.”bisiknya tanpa melepaskan genggaman eratnya ataupun tatapan tajam matanya padaku. Dengan tubuh yang berdekatan seperti ini, dan wajah yang hampir bersentuhan, jawaban apalagi yang bisa kuberikan selain anggukan setuju.
Sementara itu otakku mulai memperotes, apa yang kulakukan dengan laki-laki yang belum kukenal sama sekali di lingkungan yang asing ini? Tetapi tubuhku seperti tidak bisa diatur lagi oleh otakku. Pun ketika ia melepaskan genggamannya lalu berbalik dan mulai berjalan, aku mengikutinya di belakang. Selama berjalan tidak sekalipun ia menoleh untuk sekedar memastikan aku masih mengikutinya atau tidak. Tampaknya ia sangat percaya aku akan mengikutinya. Kepercayaan diri merupakan hal lain yang juga menonjol dari dirinya. Aku pun tidak merasa keberatan berjalan dibelakangnya sementara ia didepanku.
Norman berjalan terus menyeberangi taman Fatahillah menuju gedung kantor pos. tak sedikit pun aku merasa heran atau bertanya-tanya. Entah dari mana sudah muncul pemahamanku bahwa ia bisa dipercaya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan aneh saat bersamanya. Otakku kembali cerewet mengingatkan bahwa laki-laki ini baru kukenal beberapa jam saja, tapi aku sudah berani pergi mengikutinya. Tetapi lagi-lagi tubuhku hanya patuh pada naluriku, bukan otakku. Sesampai di kantor pos ternyata ia menuju mobilnya yang diperkir disana.
Mobilnya biasa-biasa saja, sedan hitam bukan keluaran terbaru. Norman segera membuka pintu dengan remote, dan langsung masuk ke kursi supir tanpa mempersilahkan aku masuk!Tetapi lagi-lagi aku tidak merasa aneh, akupun segera masuk ke kursi penumpang. Setelah menutup pintu kemudian memasang sabuk pengaman, aku merasa ia memandangiku. Akumenoleh kearahnya, benar saja ia masih memandangiku. Kali ini aku menemukan sesuatu yang lain dimatanya, bukan hanya tatapan tajam yang ia berikan, ada kilau-kilau kelembutan tersembunyi disana. Tanpa berkata apa-apa aku balas menatapnya sambil tersenyum kecil.
“Kamu pemberani.”hanya itu saja komentarnya sebelum mulai menyalakan mobilnya. Itu adalah sebuah pernyataan yang menurutku tidak memerlukan jawaban aku hanya mengangguk lalu menatap ke jalan.Sepanjang jalan aku berpikir menimbang-nimbang apa yang kulakukan saat ini memang mengerikan. Pergi begitu saja dengan laki-laki yang belum kukenal di sore menjelang malam seperti ini. Lalu kurasakan mobil mulai melambat, ternyata kita sudah sampai di kompleks rumahku. Aku terkejut, karena asyik merenung aku tidak memperhatikan jalan.
Suaranya memecah keheningan,
“Rumah kamu disebelah mana?”tanyanya datar seolah-olah tidak ada yang aneh. Aku menoleh kearahnya dengan pandangan bertanya
“Kok kamu tahu kompleks rumahku?” suaraku bergetar oleh emosi yang mulai bergejolak. Aku bingung antara senang, kaget, lega bercampur ngeri padanya.
“Aku tahu kamu. Hanya kamu yang lupa, aku tidak.”kembali kudapatkan jawaban singkat darinya. Tetapi kali ini aku tidak bisa terima,
“Kamu siapa? Kamu tahu aku dari mana? Kita kenal dimana? Lalu kenapa kamu di museum tadi seolah tidak pernah mengenalku sebelumnya?” dengan perasaan tegang keluarlah pertanyaan beruntunku menuntut jawaban darinya. Tetapi ia hanya menggeleng,
“ Tidak sekarang, perlahan-lahan. Kamu akan mengerti pada waktunya. Kamu harus percaya sama aku.”sahut Norman. Bukan sebuah pendapat, bukan pula saran tetapi lebih sebagai perintah agar aku percaya padanya. Dan anehnya aku menjadi semakin percaya padanya. Lalu tanpa banyak protes dan pertanyaan lagi, kutunjukkan arah kerumahku. Setelah sampai, kuucapkan terima kasih dan segera beranjak keluar. Tetapi lagi-lagi ia menahanku dengan mencengkeram lenganku, sedikit kasar dan menuntut ia kembali berkata,
“Kamu percaya aku?” ditatapnya aku dengan tajam. Aku balas menatapnya, berusaha mencari sesuatu dalam matanya yang dapat menggoyahkan kepercayaanku padanya tapi tak berhasil. Sementara itu wajahnya semakin mendekat kewajahku, aku tidak merasa jengah atau risih. Akhirnya setelah kuanggukan kepala tanda percaya, ia melepas cengkramannya dan memalingkan wajah,
“Terima kasih.” Ujarnya hampir berbisik, lalu menstater mobilnya tanda aku sudah harus turun.
Kutunggu sampai mobilnya hilang dari pandangan lalu berjalan masuk kerumah. Setelah menyegarkan tubuh aku merenungkan kejadian aneh di museum hari ini dalam kamarku. Siapa sebenarnya Norman, mengapa ia bisa tahu rumahku padahal aku merasa belum pernah bertemu dengannya sebelum hari ini.
Dan apa sebenarnya yang terjadi di museum? Apakah yang kurasakan ini? Mungkinkah rasa tertarik bahkan cinta pada pandangan pertama? Aku bukannya belum pernah jatuh cinta sehingga begitu naif. Tapi cintaku dahulu begitu klasik dan menyedihkan. Yang kurasakan waktu itu jauh berbeda dengan apa yang kurasa saat ini, tapi sekaligus seolah terasa ada benang merah yang serupa didalamnya.
Kuterkenang dengan cintaku dulu, saat itu aku masih mahasiswa kedokteran tingkat 3. Dan aku jatuh cinta habis-habisan pada seniorku, namanya Ben. Ia pun membalas cintaku dan aku memiliki masa-masa indah bersamanya sepanjang tahun itu.
Namun saat kita baru mulai merencanakan akan bertunangan, terjadilah tragedi itu. Sore itu ia baru pulang setelah malam sebelumnya jaga di Unit Gawat Darurat (UGD). Karena sudah lelah dan ingin cepat sampai rumah, Ben memilih lewat jalan tol. Ben tidak menyadari bahwa badannya benar-benar lelah, dan sangat berbahaya untuk tubuh yang tidak fit menyetir sendiri apalagi lewat jalan tol.
Aku tidak tahu pasti bagaimana kejadian sesungguhnya, yang pasti mobilnya ditabrak dari belakang oleh truk kontainer yang mengebut sampai mobilnya terlempar ke jalan yang arahnya berlawanan. Saat dibawa ke rumah sakit, aku sedang jaga malam di UGD malam itu. Saat melihat wajah yang berlumuran darah itu, aku langsung tahu kalau ia Ben. Aku menguatkan diri untuk tidak jatuh pingsan.
Segera dokter bedah mengambil alih dan melakukan semua yang bisa dilakukan. Ia sempat bertahan dalam keadaan koma selama 2 hari sebelum akhirnya meninggal. Kalau ingat kejadian itu sampai sekarang aku merasakan sakit didadaku. Sejak itu aku memilih untuk naik angkutan umum daripada menyetir sendiri.
Ahh hari ini melelahkan, kuseka airmataku yang selalu mengalir saat aku mengingat Ben-ku itu, bahkan sampai sekarang 3 tahun kemudian. Aku juga belum bersedia membuka hatiku untuk siapapun. Menurutku hati ini masih belum sembuh benar dari luka, dan rasanya tidak adil bila memulai hubungan dengan kondisiku seperti ini. Tetapi entah mengapa hari ini terjadi kejadian aneh di museum. Sudahlah kurasa aku butuh istirahat untuk menjernihkan pikiranku. Malam itu tidurku diwarnai mimpi-mimpi aneh, sehingga aku bangun kesiangan.
Setelah berkali-kali dering teleponku genggamku berbunyi, barulah kuterjaga. Nomornya tidak kukenal, siapa ya?
“Halo selamat pagi?” suaraku masih parau karena baru bangun tidur.
“Anggrek. Aku sudah didepan rumahmu.” suara bariton Norman membuatku betul-betul terjaga.
“Hah? Aapa? Memangnya ada apa?” dengan gelagapan kuintip dari jendela kamar, benar mobilnya sudah terparkir disana. Dan ia sedang duduk diatas kap mobilnya.
“Cepat mandi dan siap-siap. Kutunggu disini ya.klik.” seperti biasa, bukan permintaan bukan bujukan tapi perintah dari Norman. Kuikuti saja kemauannya karena aku penasaran apa yang akan terjadi hari ini. Dalam 15 menit aku sudah siap dan segera turun menemuinya. Begitu melihatku keluar dari pintu, ia langsung masuk ke mobil dan akupun melakukan hal yang sama.
“Pagi.”sapaku ceria berusaha mencairkan suasana saat ia mengemudikan mobilnya keluar dari komplek rumahku.
“Wangi kamu enak.”sahutnya singkat. Yah hanya itu yang kudapat pagi ini, tapi berhasil membuatku tersenyum. Lalu seperti kemarin sepanjang perjalanan tidak ada yang merasa harus membuka percakapan dan tidak ada yang merasa canggung dengan kesunyian ini.
Tetapi aku merasa sesekali ia menoleh dan memperhatikanku, lalu kembali melihat lurus kedepan. Aku pun melakukan yang sama. Hari ini dengan jeans dan kaos lengan panjang ia tampak lebih santai. Untung pakaianku pun tak jauh beda, jeans, kaos dan jaket.Hari ini adalagi yang kulihat dari Norman, selain percaya diri dan sedikit kasar, aku juga melihat kebulatan tekad dari wajahnya yang tirus. Yang sedikit menghibur, kilau-kilau lembut dan kadang sedikit pujian sesekali terlihat dimatanya walau sebentar saat ia memandangku.
Kulihat mobilnya mulai mengarah ke Senayan, masuk kemudian parkir disana. Wah sudah lama sekali aku tidak ke Senayan, pikirku, sejak…. 3 tahun yang lalu. Tubuhku menegang, berarti terakhir kali aku kesini saat masih bersama Ben. Perlahan kutolehkan wajahku kearah Norman, apakah ia melihat perubahan yang terjadi padaku. Tampaknya tidak, karena ia tenang-tenang saja memasang kunci pengaman setir. Akupun mulai mengatur napas, berusaha meredakan hati. Norman langsung keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa, akupun mengikutinya.
Saat ia mulai berjalan dengan langkahnya yang panjang-panjang aku berusaha menyusulnya,
“ Mau apa sih disini?” tanyaku langsung.
“ Makan. Kamu lapar kan?” jawabnya tanpa menoleh. Aku hanya mengangguk-angguk, dan tetap berusaha mengimbangi langkahnya.
Hari Sabtu-Minggu di Senayan memang selalu ramai. Ada orang yang memang murni berolah raga, ada juga yang sekadar cuci mata atau makan. Memang banyak sekali orang berjualan macam-macam. Dari tas, baju, sepatu, pernak-pernik, barang yang sepuluhribu dapat 3, sampai aneka macam makanan.
Ia berhenti di sebuah warung nasi uduk dengan masakan khas Jawa Timur-an, disebelahnya ada tenda oranye yang sangat kukenal. Di tenda itulah Ben dan aku sering makan pagi, nasi padang yang menjadi favorit Ben ditambah dengan berbagai lauk pelengkapnya dijual disana. Tubuhku kembali menegang, kulemparkan tatapan curiga kearah Norman. Namun sepertinya ia tidak merasa atau melihat perubahanku. Ia sedang sibuk memilih lauk yang akan dimakan dengan nasi uduknya. Aku masih terus menatapnya, mencoba mengingat apakah ia salah satu teman Ben atau kenalannya. Tapi tidak ada hasilnya, ia tetap seseorang yang tidak kukenal. Karena melihat aku masih diam barulah ia bertanya,
“ Ayo makan, pakai ayam goreng dan tahu?”ia menawarkan. Aku hanya mengangguk saja. Norman yang mengambilkan kemudian meletakkan piring didepanku. Karena tidak tahan kuputuskan bertanya langsung padanya,
“Kamu siapa sih sebenarnya? Teman Ben? Saudaranya?” bibirku agak bergetar saat menanyakan. Norman menghentikan suapannya lalu menghela napas panjang,
“Bukan. Tolong percaya aku, kamu akan tahu pada waktunya.” Saat menjawab ia menatapku dengan simpati dan kelembutan sekaligus kepedihan yang belum pernah kulihat dimatanya. Ini membuatku terkejut. Akhirnya kuputuskan untuk bersabar, karena secara naluri aku memahami, dari Norman tidak akan bisa didapatkan informasi bila ia memang belum ingin memberikannya. Maka akupun mulai makan. Setelah selesai kami kembali ke mobil dan ia mengemudikannya ke arah Bogor.
Selama perjalanan kami tetap ditemani kesunyian yang terasa bersahabat. Ternyata ia menuju Kebun Raya Bogor. Matahari bersinar cerah namun masih belum terik karena hari masih cukup pagi. Waktu yang pas untuk jalan-jalan di kebun, pikirku. Setelah parkir dan membeli tiket masukkami turun.
Kami mulai berjalan dibawah kerindangan pohon-pohon besar, harum tanah basah terasa pekat dihidungku. Aku merasa senang sekali. Melihat daun-daun yang hijau mengkilat seakan baru saja digosok, melihat cahaya matahari menerobos disela-sela dahan pohon dan menghasilkan permainan cahaya yang canti. Melihat perbedaan-perbedaan perdu yang pendek-pendek dengan bunga beraneka warna, dengan pohon-pohon besar yang berdiri gagah menaungi semuanya.
Kisahku dan kisah Norman sempat terlupakan. Bahkan aku berjalan tanpa memperdulikan Norman, kuikuti cahaya matahari yang menerpa daun-daun besar dan lebar, kusentuh semua pohon, daun, bahkan tanah berlumut karena ingin merasakan teksturnya. Aku suka sekali hal-hal kecil dan aneh seperti ini. Sama seperti aku senang berjalan di trotoar jalan Sudirman kemarin.
Setelah beberapa lama barulah kusadari bahwa aku tidak sendiri. Ternyata Norman tetap berjalan mengikutiku, bahkan ia mengamati segala tingkahku. Ketika aku memandangnya dengan perasaan lega karena ia tidak pergi meninggalkanku, ia masih memandangiku. Akhirnya kami kembali bertatapan, tanpa bisa dicegah kami saling mendekat. Ketika wajahku kembali behadapan dengan wajahnya dengan jarak hanya beberapa sentimeter, aku bisa merasakan hembusan napasnya. Kutatap matanya dengan sunguh-sungguh mencari semua jawaban atas pertanyaanku disana. Tiba-tiba seperti mendapat pencerahan, akhirnya aku memahami sesuatu dan semuanya,
“ Norman aku siap dan aku kuat. Apapun yang kamu simpan tolong keluarkan semuanya. Aku tidak ingin terus mempertanyakan kamu. Karena aku merasa ada sesuatu yang sudah terjalin antara kita. Kalau kamu setuju denganku bahwa sesuatu itu pantas dipupuk dan dibiarkan berkembang , aku tidak ingin ada keraguan-keraguan.”kunyatakan semua itu dengan lembut tanpa melepaskan tatapanku. Seketika itu wajahnya yang coklat mengeras, matanya tampak semakin gelap dan napasnya menjadi lebih cepat. Lalu dengan kasar ia mencengkeram kedua lenganku dan menarikku lebih dekat lagi sampai aku tenggelam dalam pelukannya. Dengan suara bergetar ia berbisik ditelingaku,
“Aku mencintaimu sejak pertama melihatmu. Hatiku sakit saat melihat kamu berkabung begitu lama. Aku bahkan sudah mencintaimu sebelum kamu dengan Ben. Aku berusaha melupakanmu, tapi saat bertemu di museum aku seperti disambar petir. Aku …….aku tidak ……..”tiba-tiba ia melepaskanku dan mundur menjauh.
Sejenak aku bingung apakah membiarkannya seperti itu atau harus mendesaknya terus.Aku tidak mengerti bagaimana bisa ia mencintaiku sedalam itu, kita belum pernah berkenalan sebelumnya. Kuputuskan akan mengikuti naluriku, kuhampiri dan kugenggam tangannya lalu kami duduk diatas batang pohon tumbang. Sambil tetap menggenggam tangannya, kupandang wajahnya dan dengan lembut aku mulai meyakinkannya,
“Norman, kamu harus percaya kalau aku siap dan aku kuat. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang cukup besar yang kamu simpan. Kamu bisa mengeluarkannya padaku sekarang.” Perlahan ia mulai menolehkan wajahnya padaku dan memandangiku lama sebelum memulai ceritanya.
Ternyata Norman adalah keluarga salah satu pasienku saat jaga di UGD. Saat itu sepupunya mengalami kecelakaan motor setelah pesta minuman keras. Norman adalah keluarga yang dihubungi, karena sepupunya takut ketahuan orangtuanya. Ketika sampai di UGD Norman melihat aku yang sedang menjahit luka-luka robek dikepala sepupunya. Menurutnya aku terlihat sangat cantik, padahal biasanya kalau jaga malam pasti penampilanku sudah berantakan. Waktuitu ia hanya menanyakan namaku pada perawat. Setelah itu ia berusaha mencari tahu tentang aku dengan berbagai cara..
Dari hasil pencariannya ternyata kita pernah satu SMP, tetapi hanya sebentar karena Norman segera pindah keluar negeri. Itulah mengapa ia merasa kenal saat melihatku di UGD. Ia mulai mengingat bahwa saat SMP aku pernah membuatnya terpesona. Waktu itu sekolah kami diserang sekolah lain dan terjadi tawuran. Norman dan beberapa temannya luka-luka terkena timpukan batu, sehingga kepalanya berdarah. Ketika teman-teman yang lain tidak berani mendekati, aku membantunya berdiri dan menekan kucuran darahnya dengan saputanganku. Sejak itu ia mulai memperhatikan aku, tapi sayang ia harus pindah ke Amerika ikut orangtuanya. Aku sendiri sudah lupa kejadian itu.
Ia juga berhasil mencari tahu dimana komplek rumahku, tetapi tidak berhasil mengetahui letak rumahku dan bahwa aku belum memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Kemudian dia disibukkan dengan skripsinya sehingga urusan menyangkut diriku harus ditunda. Setelah diwisuda dan berhasil memperoleh pekerjaan, ia mulai merencanakan cara untuk mendekatiku. Namun lalu ia mendengar kalau aku sudah berhubungan dengan orang lain, bahkan berencana tunangan. Menurutnya saat itu dunianya seperti hancur, karena Norman sangat yakinaku hanya untuk dirinya. Maka ia berencana mencariku kerumah untuk segera mencurahkan perasaannya, waktu itu Norman diantar sepupunya.
Malam itu ternyata ia mengalami kecelakaan, karena mobilnya terkena benturan mobil lain yang terlempar dari jalurnya akibat tertabrak truk. Ya, Norman mengalami kecelakaan yang sama dengan Ben. Bahkan ia dibawa ke UGD bersama-sama. Norman dan sepupunya hanya mengalami luka robek dan gegar otak ringan. Ketika itulah ia melihat saat aku mengenali korban yang lain sebagai Ben. Dilihatnya aku berusaha sekuat tenaga menahan diri, bahkan masih berusaha memberikan pertolongan pertama pada dirinya dan sepupunya, sebelum akhirnya digantikan temanku. Saat itu aku memang seperti tidak menyadari apa yang kulakukan, aku bekerja secara otomatis saja karena pikiranku ke Ben. Akhirnya teman-temanku menyuruh aku menunggui Ben dan mengambil alih pekerjaanku.
Norman menangis diam-diam untukku malam itu, justru karena ia melihat aku masih belum mampu menangis. Aku baru mampu menangis keesokan harinya setelah orangtua Ben dan orangtuaku datang. Norman juga merasa bersalah karena sempat terbersit rasa lega dalam hatinya bahwa akhirnya aku bisa dimilikinya setelah Ben tiada. Karena takut dengan perasaannya itulah ia berusaha melupakan aku, sampai akhirnya kita bertemu di museum.
“Maafkan aku Anggrek. Aku mohon maaf atas perasaan senangku ketika kamu mengalami tragedi. Itulah yang selama ini menghantuiku. Saat aku berusaha melupakanmu, aku malah diberikan kesempatan oleh Tuhan bertemu lagi denganmu”
“ Dan semua perasaan itu belum hilang sama sekali, malah semakin menguat. Ketika aku melihat pintu hatimu sepertinya mulai terbuka, semakin bertumpuklah perasaan bersalahku. Aku berada dalam dilema, bila kuceritakan perasaanku waktu itu aku mungkin akan kehilanganmu sementara aku begitu mencintaimu sampai sakit rasanya. Apalagi bila harus kehilanganmu untuk selamanya.”
“ Tetapi kalau aku tidak menceritakan semua ini perasaanku tidak tenang. Bila akhirnya kamu mencintaiku berarti cinta kita dinodai oleh ketidakjujuranku. “ Norman mengakhiri ceritanya. Selama ia bercerita aku tidak pernah lepas memandangnya, sementara Norman sepertinya tidak berani menatapku. Bahkan sekarang ia berdiri menjauh.
Tentu saja aku sangat terkejut mendengar ceritanya, mengetahui bagaimana nasib mempermainkan kami. Tetapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena aku memahami perasaannya. Justru perasaan bersalah yang muncul itu menandakan hatinya yang baik. Aku masih sangat mencintai Ben-ku, tetapi dengan cara yang lain. Aku akan tetap mengenangnya dihatiku. Tetapi aku mulai sadar kehidupanku harus terus berjalan dan aku harus bisa memisahkan kenangan dengan kenyataan. Sekarang disini, ada seseorang yang mencintaiku begitu dalam,bagaimana dengan hatiku? Mampukah aku membalas cintanya?
Sekali lagi kubiarkan naluri dan hatiku memanduku. Aku tetap duduk dibatang pohon itu seperti sejak bermenit-menit yang lalu, sementara Norman berdiri membelakangiku. Dengan lebih tegas dari sebelumnya aku memulai,
“ Aku tidak bisa memaafkanmu. Karena tidak ada yang perlu dimaafkan. Perasaan itu menurutku sangat wajar, dan dengan adanya rasa bersalah dalam dirimu dengan sendirinya sudah membuktikan bahwa kamu baik.” Aku terdiam sesaat mencoba mencari kata-kata yang tepat, dan membiarkan Norman meresapi ucapanku. Ternyata tidak ada kata-kata yang tepat selain yang sebenarnya, kenyataannya. Maka kulanjutkan,
“Saat ini aku diberitahu bahwa ada seseorang yang mencintaiku begitu dalamnya sampai ia menghukum dirinya sendiri karena merasa bersalah padaku. Selain itu aku baru merasakan sesuatu yang lain sejak pertama bertemu kamu di museum. Aku merasa entah bagaimana terhubung denganmu, percikan itu ada dimana-mana dan aku langsung percaya padamu disaat pertama.”
“ Dan ternyata kamu memang tidak mengecewakan. Aku masih bingung apa yang harus kulakukan, aku tidak tahu apakah hatiku siap dan mampu mencintai seseorang lagi. Karena aku sangat menginginkannya.” Dengan helaan napas panjang aku mengakhirinya.
Tanpa peringatan, tanpa pendahuluan Norman membalikkan badannya dan langsung menarikku kembali kedalam pelukannya.
“ Aku…ijinkan aku membuatmu mencintaiku. Berikan aku kesempatan ini Anggrek.” Bisiknya ditelingaku, kali ini dengan lembut permohonan. Lalu menjauhkan aku sejenak untuk melihat jawabanku. Pandangannya yang biasanya tajam menusuk, kali ini melembut dan penuh harapan. Mmh apalagi yang bisa kulakukan selain mengangguk setuju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H