Tagar #StopCopyPaste menggema di jagat Twitter dua hari yang lalu. Setelah ditelusuri, tagar tersebut berasal dari cuitan akun Ruang Guru yang isinya:
"Begitu banyak nilai yang tersimpan ketika mengerjakan tugas atau ujian secara jujur. Meski kadang terasa rumit, dengan berbuat jujur selain membuat kita lebih fokus, berbuat jujur juga merupakan suatu bentuk untuk menghargai diri sendiri" #StopCopyPaste (https://t.co/UBzd0XQDTy).
Banyak pengguna Twitter yang turut menceritakan kisah mereka berkaitan dengan kejujuran dalam mengerjakan tugas atau ujian ini. Di antaranya berbagi pengalaman bagaimana mereka menyontek atau memberikan sontekan kepada temannya dan ternyata yang dapat nilai yang lebih besar adalah yang diberi dibandingkan yang memberi sontekan. Hingga Jumat malam (11/12/20) sudah lebih dari tujuh ribu cuitan yang saya tangkap menggunakan #StopCopyPaste dalam postingannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyontek berarti "mengutip (tulisan dan sebagainya) sebagaimana aslinya; menjiplak". Kebiasaan menyontek ini mungkin sudah menjadi fenomena yang biasa dilakukan di lingkungan sekolah. Mulai dari menyontek tugas dari teman, membuat contekan di saat ulangan atau ujian sampai aktivitas menyontek bersama yang difasilitasi oleh sekolah pada saat ujian nasional.
Persepsi yang dipercayai oleh sebagian masyarakat, menyontek mengarah pada mengalihkan jawaban oranglain kepada jawaban sendiri atau mencari jawaban dari catatan yang dibuat. Ini juga yang saya temui beberapa kali ketika mengawasi mahasiswa di tempat saya bekerja mengerjakan ujian. Bahkan saya pernah merobek kertas jawaban ujian seorang mahasiswa karena saya menangkap tangan ia sedang melihat jawaban dari buku catatannya.
Gregory J. Cizek pada tahun 2001 pernah menuliskan sebuah artikel yang berjudul "Cheating to the test". Dalam tulisannya, ia menyebutkan beberapa aktivitas curang berkenaan dengan ujian di samping meng-copas jawaban orang lain. Yang termasuk di dalamnya adalah menyiapkan siswa sebelum ujian dalam rangka meraih nilai tinggi saat ujian.
Dalam lingkungan sekolah, mungkin kita mengenal ada kelas pemantapan dimana siswa diberikan soal-soal ujian terlebih dahulu. Harapannya, siswa bisa memahami pola pertanyaan yang kerap muncul dalam ujian. Atau menjamurnya bimbingan-bimbingan belajar yang menjadi ajang untuk siswa dalam menghadapi ujian, baik itu ujian sekolah ataupun ujian masuk ke perguruan tinggi. Ataupun sekedar belajar menjelang ulangan, ujian sekolah, ujian tengah atau akhir semester dengan tujuan bisa menjawab ujian dan mendapat nilai bagus. Itu semua menurut Cizek tergolong ke dalam aktivitas 'cheating'.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, penilaian diartikan sebagai "proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik". Namun, jika semua aktivitas persiapan ujian di atas menjadi lumrah dilakukan di kalangan pelajar atau mahasiswa, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah tujuan diadakannya ulangan atau ujian itu untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik atau mengukur seberapa siap seseorang dalam menghadapi ujian? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka sepertinya tujuan ulangan atau ujian itu diadakan sudah berhasil dicapai. Namun harus ditelaah lagi soal apa yang harus diberikan saat ulangan atau ujian jika tujuannya adalah mengukur kemampuan dan pemahaman siswa atau pelajar.
Substansi tujuan tersebut akhirnya ternodai dengan adanya kebiasaan fokus belajar pada saat menjelang ulangan atau ujian saja. Tekanan yang dihadapi oleh para pelajar dan mahasiswa pada akhirnya tertuju pada bagaimana mendapat nilai ujian tinggi. Sehingga aktivitas mencontek menjadi sebuah kebiasaan atau bahkan kewajiban demi mendapat predikat lulus di mata pelajaran atau mata kuliah yang diujikan.
'Al ummuru bi maqasidiha', setiap perbuatan itu harus berorientasi pada tujuan. Tagar #StopCopyPaste semestinya dibarengi dengan penyeragaman persepsi di antara para pemangku jabatan, sekolah, perguruan tinggi, guru, dosen, siswa, mahasiswa dan orangtua tentang makna belajar dan tujuan diselenggarakan sebuah ujian. Institusi pendidikan semestinya bertujuan menciptakan manusia yang mampu berpikir kritis dan mampu berinovasi melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat bukan mencetak robot yang harus memiliki jawaban yang sama dalam setiap persoalan yang ditanyakan. Kebiasaan belajar untuk ujian atau kebiasaan mencontek itu bisa dihindari karena belajar pada hakikatnya adalah membentuk para ulul albab yang bisa mengkaitkan setiap perbuatannya sebagai hubungan ia sebagai makhluk dari Penciptanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H