Lihat ke Halaman Asli

Tiga Oleh-oleh Penting dari Workshop Penulisan dan Ilustrasi Cerita Anak, TaCitA

Diperbarui: 21 Februari 2019   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesta Cerita Anak Indonesia (TACITA ID) di Galeri Soemardja ITB sudah berakhir, 17 Februari 2019 lalu. Ada serangkaian acara dalam kegiatan tersebut, termasuk di dalamnya pameran dan workshop. Saya sendiri hanya bisa mengikuti tiga kegiaatan.  Kemarin saya coba menyalin ulang catatan materi dari tiga jenis workshop yang saya ikuti. Ketiganya memiliki tautan tema yang saling mendukung bagi saya, yaitu teknik mengilustrasi cerita, teknik mengalirkan ide cerita melalui gambar, dan teknik meramu tiga paragraf pertama sebuah cerita sehingga memiliki daya untuk membuat pembaca (khususnya editor saat menyeleksi naskah )  melanjutkan bacaan ke paragraf berikutnya.

 Tiga hal spesial yang saya peroleh setelah mengikuti kegiatan tersebut:
1. Saya jadi belajar kembali tentang menghargai sebuah gagasan, betapapun kecilnya. Karena kecilnya gagasan itu ibarat benih. Apapun yang tumbuh, berbunga, atau berbuah berasal dari yang kecil itu.

  2. Membuat sebuah cerita untuk anak-anak bukan pekerjaan sederhana. Kita perlu memikirkan berbagai aspek, tak hanya soal alur cerita dari awal hingga akhir, namun juga dampak yang ditimbulkan dari keseluruhan cerita. 

 Hal paling penting yang baru saya pahami tempo hari adalah filosofi tentang mengapa penyelesaian sebuah masalah yang dihadapi tokoh sebaiknya diselesaikan oleh tokoh utamanya sendiri dan bukan tokoh eksternal yang  dimunculkan tiba-tiba. Dulu, saya terus terang tidak mengerti mengapa harus begitu. Rupanya, hal itu berkaitan dengan urusan mentalitas atau karakter yang hendak kita bangun pada pembaca (dalam hal ini anak-anak). 

 Kehadiran "hero"  atau dewa penolong yang begitu  cepat saat si tokoh menghadapi masalah,  bukan hanya membuat si tokoh menjadi terhempas perannya dalam cerita, namun secara tidak langsung akan membentuk sebuah paradigma, bahwa jika ANAK menghadapi masalah, hero PASTI datang. Dan karena bacaan adalah "makanan" bagi pikiran, jika mayoritas cerita yang anak baca menunjukkan alur seperti itu, tanpa sadar kita memasukkan sebuah "nilai" ke dalam pikiran bawah sadar mereka bahwa  berusaha mengerahkan segala  potensi atau bekerja keras secara mandiri dalam menghadapi masalah  bukanlah bagian mereka. Itu tugas "hero", dan  si "hero" itu bukanlah mereka.

  3. "Show, not tell." Ungkapan itu sangat sering saya dengar saat mengikuti workshop menulis, terutama menulis cerita anak. Tapi, saya ini pembelajar yang kurang cepat paham rupanya.  Pahamnya baru kemarin. Pada sesi bedah naskah tiga paragraf pertama, di mana naskah saya dipuji sekaligus dipreteli kekurangannya, mengertilah saya mengapa "show" (menunjukkan aksi)  itu lebih mengena dan berpengaruh dibandingkan  "tell" (menceritakan), karena show itu berarti bergerak, beraksi, melakukan, mencontohkan secara nyata, sehingga energi dari aksi itu juga menular kepada pembaca, sedangkan "tell" hanyalah berceloteh tentang aksi. Tentu kekuatan sebaran energinya berbeda.

 Dan saat berada di kelas Mr. Alfredo Santos, saya juga menyadari, mayoritas peserta workshop ternyata masih di kisaran usia 20 dan 30-an. Sayalah yang paling "muda".  Poin pentingnya: tetaplah berjiwa pembelajar, berapapun kepala pada usiamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline