Kebutuhan akan instalasi pengurai sampah organik (baca: komposter) memang kian urgen. Saat ini, jika sampah ditangani secara konvensional, tanpa pemilahan organik dan non organik, lalu dibuang sekenanya di TPA-TPA, dampaknya akan berbahaya berkali-kali lipat dibandingkan kondisi di masa lalu. Perbandingan waktu antara terurainya sampah dengan produksi harian yang berlangsung di rumah-rumah sekarang terlalu jauh berbeda. Tumpukan sampah di TPA akan begitu cepat menggunung hanya dalam hitungan bulan jika sebagian pengelolaan sampah tidak dituntaskan di lingkup terdekat, terutama sampah organik. Namun komposter model apa yang lebih efisien sekaligus efektif untuk melanggengkan pengolahan sampah organik di masyarakat?
Komposter Besar (Komunitas)
Instalasi pengolah sampah organik berukuran besar memang bisa meringankan para "produsen" sampah. Tinggal pilah sampahnya, lalu berikan sampah organik ke petugas instalasi. Eksekusi penghancuran dan pengomposan dilakukan oleh petugas. Akan tetapi, dalam praktik, pemakaian komposter komunitas semacam ini tidak semulus yang dibayangkan.
[caption id="attachment_295932" align="aligncenter" width="300" caption="komposter besar"][/caption]
Di komplek saya misalnya: Karena sosialisasi penggunaan komposter RW hanya bersifat permukaan dan tidak menyentuh kesadaran internal, maka konsistensi setiap penghuni rumah untuk memilah sampah tidak panjang. Warga masih berkutat dengan pertanyaan klise AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku). Akibatnya, semakin hari sejak hari pertama peresmian, prosentase penyumbang sampah organik juga menurun, dan komposter besar menjadi setengah nganggur, padahal sudah menelan biaya pembuatan yang tidak sedikit.
Selain itu, komposter bersama yang dibiayai secara kolektif membutuhkan tata laksana dan kesepakatan tertulis yang jelas. Siapa yang mengelola, apa hak/kewajiban pengelola, dan juga apa hak/kewajiban warga sebagai penyumbang sampah. Hal itu untuk mencegah prasangka dan demi menciptakan transparansi pengelolaan, mengingat output komposter sendiri bernilai ekonomi. Untuk siapa dan bagaimana pembagian hasil penjualan output komposter, benar-benar harus dituangkan dalam bentuk tertulis, di mana setiap pihak yang terlibat sama-sama mengetahui dan menyepakati.
Lain halnya jika komposter dikelola secara perorangan sebagai usaha pembuatan kompos. Transaksinya menjadi lebih jelas. Sampah organik tidak bisa lagi dianggap sampah tak bernilai, melainkan bahan baku produksi. Dan otomatis, pengelola komposter harus membeli bahan baku itu dari warga, bukan memintanya secara gratis. Hal itu sudah terjadi sebenarnya dengan sampah non organik dengan hadirnya perusahaan penampung barang bekas.
Komposter Rumah Tangga
Komposter kecil yang bisa digunakan di rumah-rumah secara mandiri kini makin banyak variasinya. Kita tentu sudah mengenal keranjang takakura, komposter anaerob portable, lubang biopori, dan sejenisnya. Orang boleh memilih model manapun yang mereka anggap nyaman dipakai dan sesuai dengan output yang dihasilkan. Jika menginginkan output padat, takakura pilihannya, dan jika menginginkan kompos cair, maka komposter anaerob yang harus ada. Apapun pilihannya, pengelolaan sampah organik secara swadaya di rumah sebenarnya paling ideal dari sisi efisiensi biaya.
[caption id="attachment_295927" align="alignleft" width="192" caption="Komposter anaerob portable"]
[/caption]
Akan tetapi, masalah penting yang harus diselesaikan dalam memasyarakatkan komposter rumah tangga tak jauh beda dengan komposter komunitas, yaitu membentuk kesadaran internal terlebih dahulu. Jika alasan mengomposkan sampah belum ditemukan di benak setiap penghuni rumah, maka pemilahan sampah tidak akan pernah berjalan atau malas-malasan. Buat apa mengomposkan sampah? Dijual pun jumlahnya tak seberapa dan jika dipakai pupuk, tak semua orang suka atau sempat bercocok tanam.