Lihat ke Halaman Asli

Demonstrasi Anarkis - Salah Siapa

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seorang teman pernah mengeluh kepada saya, mungkin lebih baik kabur ke luar negeri. Sambil tersenyum getir, dia mulai bercerita panjang lebar tentang hal-hal buruk yang terjadi di negeri tercinta, mulai dari terorisme, kasus-kasus korupsi, kriminalitas yang makin meningkat, minimnya penghargaan terhadap kompetensi dan hak cipta, sampai akhirnya kami sampai kepada maraknya demonstrasi yang berujung anarkisme. Marak, karena hampir setiap hari ada saja stasiun TV yang menyiarkan berita tentang demonstrasi, entah itu demo buruh, sengketa lahan, atau bahkan hanya gara-gara masalah sepele, seperti yang terjadi di Makassar baru-baru ini.

Mahasiswa berdemo menolak kebijakan skorsing tiga rekannya dari kampus,namun entah kenapa, terjadi baku hantam antara mahasiswa pendemo dan satpam. Satpam yang jumlahnya sedikit otomatis tidak kuasa menghadapi mahasiswa satu fakultas. Pendemo tidak hanya memukul satpam tetapi menghancurkan kaca-kaca lantai I Rektorat Unhas.Ketiga mahasiswa yang diskorsing yakni Zul Huzair, Rahmatul Ardi dan Abdillah, ketiganya adalah mahasiswa Geologi Unhas. Mereka diskorsing tidak boleh kuliah selama 2 semester, akibat melaksanakan pengkaderan untuk mahasiswa baru di jurusan itu.Padahal sebelumnya pihak Rektorat sudah melakukan dialog dengan para mahasiswa serta dosen Teknik Geologi untuk mencegah terjadinya aksi anarkis.

Dari sini timbul pertanyaan, mengapa terjadi demonstrasi? Dan mengapa demonstrasi harus berakhir ricuh dan merusak?

Demonstrasi terjadi karena kegagalan negosiasi, dalam kasus ini, dialog antara pihak Rektorat, mahasiswa dan dosen Teknik Geologi Unhas nyata-nyata gagal menemui kesepakatan, sehingga demonstrasi terjadi. Pihak Rektorat tentu tidak begitu saja memberikan skorsing pada ketiga mahasiswa tersebut, dan pengambilan keputusan tersebut pasti ada dasarnya. Pengkaderan mahasiswa baru –ospek atau dapat diasosiasikan dengan perploncoan- memang sudah lama dilarang, semenjak mencuatnya kasus STPDN yang memakan korban jiwa. Namun skorsing 2 semester rupanya dianggap terlalu lama oleh mahasiswa, belum lagi rasa malu kepada sanak famili kalau ketahuan kena skorsing, dan skorsing 2 semester tentu tidak menghilangkan kewajiban dari mahasiswa bersangkutan untuk membayar biaya kuliahnya.

Pihak Rektorat ingin memberikan efek jera, sehingga mereka tetap memegang teguh keputusan untuk menjalankan skorsing tersebut, sehingga negosiasi tidak menghasilkan solusi baru. Maka mahasiswa terpaksa mengeluarkan senjata pamungkas mereka, yaitu people power.

Vox populi, vox dei – Suara rakyat adalah suara Tuhan. Kalau rakyat –baca: populasi – banyak, tentu suaranya akan makin besar juga. Sejarah Indonesia sendiri mendukung hal tersebut, terutama pada saat gerakan mahasiswa berhasil “menggulingkan” pemerintahan seumur hidup Soekarno dan rezim Soeharto serta kroni-kroninya. Berbekal keyakinan salah kaprah inilah, dan harapan bahwa negosiasi akan menemukan “titik terang” maka terjadilah demonstrasi.

Anarkisme yang terjadi pada sebagian besar demonstrasi disebabkan oleh kurangnya pengendalian. Apa yang terjadi jika ada sekelompok manusia yang merasa kepepet, dengan setumpuk harapan yang ingin dipenuhi, dilepas begitu saja tanpa pengendalian yang memadai? Ibarat sebuah akuarium besar yang penuh berisi air, satu retakan kecil di dinding akuarium bisa membuat seluruh kaca pecah berantakan, air meluap keluar dan membasahi semua yang ada di sekitarnya. Diperlukan pengendalian yang baik agar retakan kecil tersebut tidak terjadi. Karena tidak ada yang diuntungkan kalau sampai hal itu terjadi.

Retakan kecil pada kasus UNHAS adalah pembakaran ban di depan kampus. Namun rupanya api yang berkobar tersebut juga menyulut emosi mahasiswa, satpam yang bertugas mengendalikan suasana ternyata tidak mampu untuk mencegah terjadinya retakan kecil tersebut. Dampaknya sudah jelas, seorang satpam babak belur, gedung rusak, perkuliahan terganggu, dan belum tentu skorsing tersebut dihapuskan.

Pihak Rektorat, yang meminjam tenaga satpam, gagal mengendalikan suasana. Lalu siapa lagi yang bertanggungjawab atas isu pengendalian tersebut? Setidaknya ada 2 hal yang tersirat dalam benak saya, yaitu pengendalian diri masing-masing mahasiswa, dan pengendalian dari penanggungjawab demonstrasi tersebut. Pengendalian diri merupakan faktor penting,namun tidak signifikan dalam kasus demonstrasi anarkis ini. Pasalnya populasi pendemo yang diibaratkan air dalam akuarium akan bertindak sebagai follower – pengikut – mengalir kemana arah pergerakan massa. Disinilah tanggung jawab seorang koordinator demo dituntut. Seharusnya, kalau berani mengumpulkan massa, seorang koordinator setidaknya mempunyai leadership yang baik, mampu mengarahkan aliran massa, menstabilkan emosi, dan waspada terhadap bentuk-bentuk retakan berupa provokasi sekecil apapun yang dapat membawa demonstrasi berujung ke tindakan anarkis, dan rupanya leader semacam itu tidak muncul dalam kasus demo UNHAS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline