Lihat ke Halaman Asli

Masalah Jakarta, Masalah Nasional

Diperbarui: 5 Juli 2017   06:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: megapolitan.kompas.com

Tidak diragukan lagi, Provinsi DKI Jakarta masih dihadapkan pada berbagai masalah perkotaan yang menjadi tantangan berat bagi siapapun yang memerintah provinsi ibukota negara ini. Masalah-masalah yang dihadapi Jakarta sekarang ini sebenarnya berurat berakar pada berbagai fenomena pembangunan nasional dan dinamika kehidupan masyarakat secara lintas daerah dan lintas sektoral seperti masalah kependudukan (migrasi masuk, tenaga kerja), masalah transportasi (kemacetan, kurangnya sarana), masalah tata-ruang dan lingkungan hidup (permukiman padat, kumuh, banjir, polusi udara, sampah, drainase), masalah perekonomian, masalah politik, semuanya campur aduk dan menjadi kompleks. Kini sudah waktunya untuk menyadari bahwa masalah-masalah yang dihadapi Jakarta tidaklah dapat diselesaikan sendiri oleh Pemda DKI tetapi harus melalui koordinasi di tingkat nasional atau setidaknya koordinasi lintas pemerintah provinsi.

Peran Jakarta dan Ketimpangan Regional.Kenyataan utama dalam perkembangan kemajuan pembangunan Indonesia adalah adanya kesenjangan antar wilayah (interregional disparity). Fenomena ini memang telah berlangsung sejak kemerdekaan bahkan pada masa penjajahan Hindia Belanda. Kota Jakarta dan wilayah sekitarnya lebih mendominasi perekonomian nasional dan tumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa maupun luar Jawa. Keadaan ini disebabkan oleh berbagai faktor keuntungan wilayah (comparativedan competitive advantages), seperti faktor geografis, faktor sejarah, maupun statusnya sebagai ibukota negara.

Pada tahun 2013, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa PDRB Jakarta adalah tertinggi kontribusinya dalam PDB Nasional (harga berlaku) yaitu sebesar 16,57 persen. Demikian pula PDRB per kapita Jakarta adalah tertinggi secara nasional. Boleh jadi data ini memiliki bias karena ada kemungkinan nilaitambah yang dihasilkan oleh daerah lain tercatat di kantor Jakarta. Betapapun, Provinsi DKI Jakarta yang hanya berpenduduk sekitar 9,7 juta jiwa pada tahun 2010, dan diperkirakan pada tahun 2015 telah mencapai 10,2 juta jiwa, ternyata memiliki kinerja yang tinggi dalam penciptaan PDRB, terutama melalui sektor manufaktur dan jasa. Perekonomian Jakarta pada tahun 2013 telah tumbuh dengan laju sekitar 6,11 persen per tahun (BPS), suatu laju pertumbuhan yang mengesankan. Tumbuh cepatnya wilayah Jabodetabek ternyata tidak diimbangi dengan tumbuhnya daerah-daerah lain di luar Jawa, sehingga mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan antar wilayah dalam dekade belakangan ini.

Perkembangan Jakarta dan wilayah sekitarnya yang kita saksikan sekarang ini pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya dua faktor besar dalam dinamika pembangunan wilayah nasional kita, yaitu faktor penarik (pull factors), dan faktor pendorong (push factors).

Pull factors. Jakarta menyandang berbagai fungsi kota, sebagai pusat politik dan pemerintahan negara, sebagai pusat perekonomian dan keuangan, sebagai pusat perdagangan, jasa, dan turisme, pusat pendidikan, kebudayaan, dan macam-macam fungsi lainnya. Fungsi yang beraneka ini sendiri telah menjadi daya tarik luar biasa, baik bagi para pencari kerja dan kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, dan para penanam modal. Sebagai pusat kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional, Jakarta dan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, disingkat Bodetabek) telah menarik para pendatang untuk mengadu nasib dan peruntungannya ke wilayah ini disebabkan daya tarik yang sangat kuat. Secara sengaja atau tidak, daya tarik Jakarta dan wilayah sekitarnya ini diperkuat pula oleh media massa, baik media cetak maupun elektronik. Sinetron televisi, film, dan sebagainya sangat besar kontribusinya dalam penggambaran Jakarta sebagai ibukota yang gemerlap dan “menjanjikan” kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah asal, asalkan mau bekerja, apa saja. Kaum migran pencari kerja secara konstan terus mengalir ke Jakarta untuk mencari kerja. Karena sulitnya untuk mencari tempat tinggal di Jakarta maka para pekerja ini memperoleh tempat tinggal di wilayah Bodetabek bahkan kini sudah merambah ke wilayah Cikarang, Karawang, dst. Ini terlihat dari data laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta yang relatif rendah sedangkan di daerah Bodetabek lebih tinggi. (Tabel 1). Ini juga disebabkan relatif rendahnya daya tampung dan relatif mahalnya biaya untuk bermukim di Jakarta, sehingga kaum pendatang cenderung untuk menetap di wilayah Bodetabek. Demikian pula, banyak penduduk Jakarta yang beralih pindah ke kawasan-kawasan permukiman baru di Bodetabek.

Sumber: BPS (www.bps.go.id)

Dari tempat-tempat permukiman di Bodetabek ini, para pekerja (pelaju, commuter) ini setiap pagi hari menuju ke tempat bekerja di Jakarta dan kembali sore atau malam hari dengan menggunakan berbagai macam sarana transportasi yang tersedia, baik kereta api commuter(KRL), bus antarkota, maupun dengan kendaraan pribadi (mobil, atau sepeda motor). Alhasil, kita menyaksikan ribuan kendaraan pribadi dan pengendara sepeda motor memenuhi jalan-jalan arteri dari wilayah Bodetabek, menuju Jakarta atau sebaliknya. Permintaan tenaga kerja di kota Jakarta ternyata masih tetap tinggi. Pembangunan berbagai sarana seperti gedung-gedung perkantoran, pertokoan, mal, apartemen, hotel, dan sebagainya yang tidak pernah berhenti di Jakarta antara lain menyumbang besar kepada tersedianya lapangan kerja, baik di tingkat rendahan, menengah, maupun pendidikan tinggi. Sementara itu, sulit mendapatkan permukiman di wilayah Jakarta. Itu sebabnya, perkembangan permukiman di sekitar Jakarta seperti Bintaro, BSD, Karawaci, Bekasi dan sebagainya sangat pesat.

Jakarta memang sangat memiliki daya tarik karena: pertama, adanya kesempatan kerja yang ditawarkan oleh berbagai kegiatan pembangunan, baik industri manufaktur, pemerintahan, maupun kegiatan jasa (services); kedua, Jakarta memiliki infrastruktur yang relatif lebih lengkap dibanding dengan daerah-daerah lain; ketiga, Jakarta merupakan pusat kegiatan bisnis, perdagangan, keuangan, wisata, bahkan pusat politik dan pemerintahan; keempat, Jakarta memiliki fasilitas sosial dan fasilitas umum yang relatif lebih baik.

Push Factors.Selain disebabkan oleh adanya daya tarik (pull-factors), perkembangan Jakarta dan Bodetabek juga disebabkan oleh adanya faktor-faktor pendorong di daerah-daerah.Daerah-daerah atau provinsi lain di luar Jabodetabek kurang mampu menyerap angkatan kerja yang ada di daerahnya masing-masing disebabkan terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, dan masih rendahnya kapasitas produksi di daerah-daerah. Ini mendorong lebih banyak migrasi keluar daerah masing-masing untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Daerah-daerah pertanian tradisional semakin tidak menarik bagi para angkatan kerja muda, dan cenderung tertarik kepada kegiatan ekonomi industri manufaktur dan jasa yang banyak tersedia di Jakarta dan sekitarnya (maraknya transportasi on-line belakangan ini di Jakarta terutama, menjadi dayatarik yang besar bagi arus migrasi). Tanah-tanah pertanian juga cenderung berkurang luasannya, beralih fungsi kepada penggunaan lahan yang lain non pertanian, dan lebih cepat menghasilkan nilaitambah yang lebih tinggi daripada pertanian. Faktor lain yang juga merupakan pendorong bagi para angkatan kerja muda untuk pergi dari daerah asalnya adalah obsesi akan kebebasan dari ikatan dan pola kehidupan tradisional dan primordial yang merupakan bagian dari kultur sosial setempat.

Masalah.Perkembangan migrasi masuk penduduk ke wilayah Jakarta dan Bodetabek, sudah barang tentu menimbulkan tekanan berupa meningkatnya tuntutan akan pelayanan sarana dan prasarana dasar seperti transportasi publik, permukiman, fasilitas pendidikan dan sarana sosial lainnya, penyediaan air baku, dan sebagainya. Pergerakan atau mobilitas penduduk dalam kegiatan ekonomi dan sosialnya tidak dapat dipungkiri juga semakin meningkat. Kepadatan lalu-lintas semakin menjadi-jadi karena panjang jalan yang relatif stagnan (meskipun ada penambahan jalan layang di sana-sini), dan kurangnya kapasitas transportasi massal serta jaringannya yang terbatas.

Kepadatan penduduk semakin tinggi dan melahirkan permukiman-permukiman padat dan kumuh disebabkan penghasilan yang diterima para pekerja relatif rendah dibandingkan kebutuhan hidup. Kondisi lingkungan menjadi semakin buruk dengan tidak adanya disiplin masyarakat dalam menjaga lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, kurangnya penghijauan, sekaligus berpotensi menimbulkan banjir. Sementara itu penyediaan rumah-rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah oleh Pemerintah masih terkendala oleh berbagai faktor misalnya penyediaan lahan, maupun resistensi budaya masyarakat sendiri yang tidak terbiasa dengan rumah susun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline