Lihat ke Halaman Asli

Catatan-catatan Tercecer 4

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Catatan catatan tercecer 4

untuk Ina Melissayang kembali[1]

Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu.

Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik(Pkh 11 : 5-6). Pada akhirnya hanya ada airmata dan kenangan yang tak bisa dihapus,…….kami masih berlari sibuk menanti di kekinian…….

IV

SIAPAPUN kitakerapkali masih saja sebagai orang yang sama merindu pada cerita-cerita lama. Bukan aneh, karena hidup dan demi hidup maka kitapun berkehendak untuk meraih kembali pengalaman lampau seperti tragedi keledai Bileam[2]. Mungkin kita sedang membutuhkan penguatan, referensi dan alasan yang mencukupi. Untuk mengesahkan dan bisa mendukung berbagai tindakan yang berkenaan, di hari-hari ini. Sebab kita juga mulai merasa asing dan resah terhadap berbagai perubahan sikap di antara satu sama lainnya. Apalagi ketika orang-orang mulai banyak membentuk kelompok dengan niatan demi penguatan kelompok sendiri dengan berupaya meniadakan kelompok lainnya. Kelompok demi individu. Ada tugas-tugas manusiawi lainnya yang lebih universal dilanggar dengan sengaja. Ada mereka yang lain, cenderung bersikap tanpa pendirian apapun. Seakan condong mengikuti kemana arah angin bertiup.

Betapa sesungguhnya kita selalu menginginkan memiliki sejumlah kepastian di kekinian. Namun ada saja ketakutan besar yang menghantui pada dilematis pilihan. Telur atau ayam, peluang atau tantangan pada labirinth pikir. Kitapun seakan-akan menjadi begitu kuatir menghadapi perangkap-perangkap pertentangan berbagai potensi yang ada. Apalagi ketika terlihat adanya usaha-usaha manipulative yang tidak sepatutnya, terus tumbuh-kembang dan dianggap sah-sah saja. Kemudian hanya akan membuahkan kelelahan dan berpasrah; ada saja yang berucap dengan lirih “silahkan”, pada yang entah. Kemudian kesemuanya akan berakhir dengan dan di dalam diam yang panjang; tanpa berbuat sesuatu apapun.

Nahas, jika kita telah menjadi tuan tanah Boaz dari Betlehem, janda miskin dari desa Sarfat ataukah Bileam peramal dari tepian sungai Efrat di abad ini. Kita memilih dan memiliki hidup dalam pengalaman dalam beragam pilihan. Pada tahapan panggilan untuk bagaimana memberlakukan makna-makna kebersamaan dan keberpihakan yang layak dan sesungguhnya di antara sesama manusia.Walaupun itu mesti berlangsung di dalam kepungan ketidakberdayaan. Sungguh, dirasakan semakin menyesak di sini.

“Hari-hari, datang dan pergi”….teriak serak Bangun Soegito dan The Rollies dalam nada-irama Rock-Blues era 70-an dan 80-an. Hari-hari memang masih terus saja datang dan pergi tanpa bisa ditahan. Mereka seakan-akan mewakili kelompok yang mau belajar memahami misteri yang belum terserap oleh akal sehat.

Kitapun tak mungkin bisa bertanya jernih. Terdengar suara-suara lirih, karena jeri kepada perangkap permainan logika kata. “Pemaknaan makna tanya dan tahu”. Dalam hal ini, bahwaorang bisa bertanya karena tidak tahu, tetapi apakah mereka memiliki kemampuan untuk bertanya dari sesuatu ketidaktahuan?

Manusiapun pernah bebas dan selalu ingin bebas. Mereka berpindah terusir dari Taman Eden, kemudian kita menjadi ada, dan berada pada sesuatu tempat kedudukan tertentu. Sebuah ketertentuan tempat dan posisi. Sungguh dilematis! Bahwa di satu sisi dikehendaki adanya kebebasan. Sedangkan adalah begitu sulit dan mustahil bagi seseorang untuk bebas lepas; pada situasi kekiniannya. Di sisi lain tak bisa dihindari adanya pertangungjawaban yang senantiasa mengikuti dan menuntut. Melengkapi pemilikan perbedaan-perbedaan dengan yang lain; mereka bersama adalah hakekat ciptaan TUHAN yang paling mulia. Nyatanya kita masih terkepung tanpa daya di dalam mengalami dan memahami realitas kehidupan.

Bagi manusia, sungguh sulit dan mustahil untuk menjadi bebas, dari pengaruh sesuatu pusat kekuatan sistem/struktur kehidupan yang sedang berlangsung, menjalankan fungsinya. Sebutkanlah, kebebasan dengan konsekuensi di penghujung akhir didapati terbelenggu dan tidak bebas dari kebebasan itu. Separuh orang menyebutkannya sebagai kebebasan yang bertanggungjawab. Sesuatu pertanggungjawaban yang melekat, yang diyakini akan membuat kebebasan itu menjadi penuh dan utuh.

Siapapun kita, senantiasa berada setiapkalinya pada suatu ketertentuan tempat kedudukan. Posisi seperti inipun dominan dipengaruhi oleh frame of mind, terutama ketika orang mau memilih. Sedangkan pilihan itu, memang harus dilakukan demi hakekatnya di dalam kebebasan; bahwa pembebasan menjadi pekerjaan rumah yang niscaya. Orang damba akan itu. Siapapun akan mendambakannya….

Setiap orang mau bebas bergerak. Mereka mau bebas memilih dan berdaulat. Sesuatu yang nyaris menjadi khayalan dan mimpi, sejak terbuang keluar dari Taman Eden. Mereka masih saja terus berlari dalam target-target perburuan, tanpa lelah dan tanpa akhir. Kalaupun itu berarti, bahwa ingin jujur kepada diri atau kepada yang entah. Inipun adalah hakekat diri, yang menyebabkan manusia berbeda satu dengan yang lain. Demikianpun berbeda dari yang lainnya.

Mudah-mudahan siapapun tak perlu jadi pesimis dan apatis, apabila menyadari bahwa ia sedang melakoni tugas, dengan peluang berwajah ganda berbeda pada sekeping mata uang logam. Kesia-siaan pada satu sisi dan pengharapan dalam konteks keberimanan pada sisi lainnya.

Tragedi seekor keledai penarik gerobak yang didapati setia berlari membawa beban. Sang keledai terus saja terpontang-panting tanpa henti-hentinya, teguh memikul target memenuhi tujuan. Sang keledai terus berkeringat. Keledai berlari mengejar berkas rerumputan yang digantung oleh sang majikan, dan tergantung pada jarak tertentu dari mulutnya untuk kepentingan kekuatan lain. Keledai, oh keledai..., betapa panjang dan melelahkan jalan ini, dan engkau tak’kan pernah meraih rumput itu.

Mudah-mudahan ketika berhadapan dengan hal-hal seperti demikian tidaklah membuat siapapun menjadi takut, untuk mengulangi kesalahan “bertanya Ayub si orang saleh”[3], di ribuan tahun lalu ketika keadilan masih menjadi hari-hari yang buruk seakan tak pernah berakhir. Ketika kesewenanganpun sebegitu berulang menikam di keterbatasan dan perbatasan.

Siapapun tentu menghendaki adanya kepastian jawaban dan jawaban pasti. Jawabanyang sesungguhnya mengikat pihak-pihak yang berhubungan. Walaupun, itu dapat berarti orang akan menjadi tidak jujur pada dirinya sendiri. Manakala dia terkepung dalam kepastian yang pekat dan berlawanan dengan panggilan kebebasan sebagai manusia.

Belum lagi keniscayaan terikat pada kebebasan itu sendiri. Sebab siapapun tanpa kecuali hanya bisa melanjutkan hari kemarin, dan mungkin menyiapkan ancang-ancang buat hari esok. Bagi kita, tak ada kini tanpa tadi, dan tanpa nanti. Di dalam kekinian justru kita adalah jembatan antara kenangan dan dambaan. Tidak sekedar menjadi orang yang meniti jembatan yang sama.

Pada akhirnya bukan berlebihan untuk berulang mengatakan dan meyakini bahwa urusan kebersamaan sesungguhnya sangat manusiawi, menjadi patut dalam pemaknaannya bagi kita. Diri adalah penjelmaan kesejarahannya sendiri, kata Fuad Hassan beberapa tahun lalu. dankita turut mengaminkannya……

[1] NTT Ekspress Maret 2000

[2] Kitab Bil.22:21-33 Keledai Bileam dan Malaikat TUHAN

[3] Kitab Ayub 1:1




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline