Lihat ke Halaman Asli

Catatan Catatan Tercecer (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Catatan Catatan Tercecer (2)

untuk Ina Melissayang kembali[1]

Setidaknya empatbelas tahun, seratus enampuluh delapan purnama, telah berlalu. Kepergianmu menorehkan luka duka dan pahatan ketabahan percaya yang entah. Pamitmu diam bercampur enggan, menyisakan rahasia buat yang tinggal,…….kami masih berlari sibuk menanti di kekinian tanpa harus menoleh, agar tidak menjadi tonggak garam isteri Lot dalam tafsiran.

II

GEJALA - gejala keakraban lain juga sempat terdengar (semakin riuh terdengar, dan terus bertambah di akhir-akhir ini). Menyeruak dalam imbuhan nada-nada mayor-minor, “re” dengan huruf “R” besar maupun huruf “r” kecil. Dikemas dan diperani orang dalam aneka formulasi, format, maupun niatan yang mendasarinya. Gaungnya juga terdengar sampai di sini, bagaikan a new fantastic melody, yang menggelorakan semangat terutama bagi mereka-mereka yang mau dan sedia mendengarkannya. Setiapkalinya suara-suara ini terus merayu merasuki ketenangan diri, demikian juga kepada mereka yang lagi sibuk mengelompok. Mungkin terutama karena semuanya masih menghendaki perubahan-perubahan. Ada kehendak untuk bebas dari kemapanan yang memang dirasakan terlampau lama dan masih saja menekan tanpa ampun.

Kita merekam suara-suara kehidupan dan tak bisa dihindaridi perjalanan ini. Selalu saja demikian adanya. Sehingga bukan berlebihan untuk mengatakan, disini dibutuhkan totalitas kerja keras dan kesiapan untuk menerima koreksi-koreksi berimbuh “re” dan lainnya, atas apa yang disebutkan di atas, bagi bentuk-bentuk kata seperti, solusi, visi, misi, form, konsili, kapital, struktur, posisi, definisi dan sejumlah kata lainnya. Bahwa adanya penolakan atas niatan ini, menyebabkan hadirnya penguatan terhadap mata ganti mata, gigi ganti gigi[1]. Pengkultusan yang masih akan tetap mencuat dengan pongah.

Patut disayangkan, bahwa ungkapan seperti ini sebenarnya dimaksudkan agar supaya berbagai bentuk keadilan dapat diwujud-nyatakan dengan benar demi tatanan hidup yang lebih bermakna. Namun selama ini telah dibelok-arah demi kepentingan-kepentingan lain yang mungkin saja berbeda, dan bahkan total bertolak belakang.

Kesepakatan hidup bersama yang selama ini didambakan, menjadi sulit manakala mau diwujud nyatakan. Orang sungkan untuk mengiakan apa yang tersirat dalam “live and let die”[2], walaupun nyatanya tembok-tembok Berlin dan USSR berikut segala perangkat ideologi yang dianut pun sudahruntuh beberapa waktu berselang.

Rupanya kelompok-kelompok mayoritas lebih sepakat berlindung dan memilih percaya, justru kepada ciptaan-ciptaannya sendiri. Mereka malahan cenderung mengilahikannya. Bahkan ada upaya terus-menerus (cenderung sistematis), untuk merekrut orang lain menjadi pengikut. Walaupun mungkin dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Mereka sebenarnya tahu bahwa hal-hal seperti inipun hanyalah media dari pemenuhan panggilan ada dan berada. Yang setiap kalinya membutuhkan koreksi-koreksi, perbaikan dan atau perubahan.

Mereka keburu terperangkap mencipta jimat atau berhala lalu mempertaruhkannya ke dalam beragam pemilihan dan pilihan. Kemudian bersembunyi di baliknya. Misalnya pilihan mekanisme voting sebagai jalan akhir dari upaya-upaya membangun kesepakatan atau ketidaksepakatan. Dari ruang-ruang rapat di gedung terhormat di Senayan sempat menjadi tontonan dagelan. Kental dengan transaksi dagang sapi. Rupanya sejak di mulai dari forum tertinggi kesepakatan di negeri ini, kemudian turun ke berbagai forum lain, dan dalam berbagai kesempatan. Sebuah pilihan dari beragam kemungkinan yang disadari, pada akhirnya merupakan pilihan buruk terkecil dari beberapa keburukan yang tak bisa dihindari lagi. Pilihan ini semakin memperkuat tendensi-tendensi pengilahian dari pelbagai bayangan tantangan ke depan yang menakutkan.

Memang, dalam hal ini dimensi paling akhir adalah mesti hati nurani si pemilih itu sendiri. Juga sudah memberikan nuansa ketegangan lain. Apakah hati nurani benar dan jernih, di wawasan pemilihan? Kembali, termasuk mekanisme voting, sebab banyak kali pilihan telah terwujud dan berwujud sebelum pemilihan berlangsung..

SALAH satu bentuk keakraban lain, adalah “kebersamaan”. Dari sekedar padu huruf samar makna, s-a-m-a, kemudian jadi akar kata sama. Pertama kali, disepakati maknanya kemudian berimbuh dalam bahasa menjadi kata kerja, se-sama, ber-sama, ber-sama-sama, ber-sama-an, ke-sama-an, per-sama-an dan ke-bersama-an, menawarkan makna.

Kata-kata ini juga menawarkan makna di keseharian antara manusia. Akrab dikenal, sebab merujuk dan bertaut erat pada berbagai aktivitas kehidupan. Pada mana semua permenungan tentangnya, juga mengiakan ini. Betapa, kata-kata ini siap-sedia membungkusi siapa saja dan apa saja. Berlaku di kekinian, atau menjejaki kelampauan maupun mendatangi kedepanan.

Formulasi kata sama, dalam bermacam imbuhan paling tidak mau mengemukakan pesan-pesan mendasar manusiawi, kesetaraan, partisipasi, kewajiban, hak, hak asasi, keadilan, kepedulian, pemerataan dan keberpihakan kesemuanya atas nama manusia.

Kalaupun ada akumulasi masalah berkepanjangan, yang mana bisa membuat orang terjebak melupa, bukan alasan untuk menolak formulasi tersebut di atas. Harus tetap disampaikan. Karena hal ini sedemikian pentingnya dan bermakna untuk di bawa pada perenungan-perenungan berulang. Apalagi belakangan ini kesenjangan antar kalangan semakin menganga lebar dan membuat yang peduli pun dicap tak layak hidup di sini. Atau selalu menjadi kambing hitam dari sesuatu keruwetan yang memang masih terus berlangsung.

Kebersamaansebagai obyek pemahaman mengundang beragam tafsir. Bisa sempit, bisa demikian melebar. Maknanya selalu cepat terumus dan diungkap dalam berbagai alasan yang membungkusinya. Dilontarkan sebagai bagian dari keriaan demoscratia[3].

Kebersamaan sebagai kata kerja memberikan makna panggilan kerja keras, menjadi kepatutan untuk mengisi kelayakan hidup bersama.

Ungkapan-ungkapan kebersamaan di dalam kata, belakangan ramai dibincang orang. Tapi anehnya berubah makna, jadi asing, dan sulit dimengerti. Ketika disikapi, banyak yang kemudian menjadi seakan-akan terjebak lupa. Bahkan kemudian meninggalkan sejumlah distorsi berkepanjangan dalam beragam kepentingan.

Sayang, kalau dari perubahan-perubahan yang terjadi justru akan menyebabkan kebersamaan dimaksud berubah menjadi sekadar wacana dari niat yang ditumpangi kepentingan-kepentingan lain. Sayang, jikalau kepentingan lain justru akan menjadi akar penyebab berbagai bencana berkepanjangan, di dalam suatu kehidupan bersama yang telah lama dirindukan.

Sungguh naif, jikalau pemahaman kebersamaan inipun keburu diilahikan. Hanya karena orang masih enggan untuk berlelah, secepatnya mereka lebih memilih solusi-solusi gampangan.

Sebenarnya yang perlu disikapi di sini adalah bagaimana membangun kebersamaanyang sesungguhnya. Paling tidak, bisa dimulai dari membangun persamaan-persamaan model untuk itu. Bersamaan dengan upaya-upaya mengimplementasikan secara saksama, keberpihakan secara sengaja kepada yang sama, terutama mereka yang selama ini telah tersisih di kehidupan bersama.

Pemodelan-pemodelan akan membuat samarnya konsepsi, mulai menjelas bentuk. Resiko dan dampak juga akan dapat dikenal lebih dini. Hal ini selayaknya dilakukan kini dandi sini,untuk mengisi kesenjangan manusiawi yang memang semakin melebar di antara manusia sendiri.

Menjadikan kebersamaan sebagai masalah bersama hendaknya serentak disikapi, tepat waktudan tidak berlambatan. Seyogianya, hal ini menjadi tugas utama bagi siapapun yang butuh jawaban atas semua pertanyaan kehidupan ini; seharusnya demikian. Sehingga berbagai nyanyian sumbang, yang selama ini keburu terdengar, seperti, “persaudaraan sejati tak pernah ada, dan yang ada hanyalah kepentingan sejati”[4], bisa direduksi kalaupun belum dapat diredam. Biarkanlah mulai menguat terdengar harmonisasi kebersamaan yang tulus dalam peduli. Ataukah kita perlu belajar untuk melihat lebih jauh, pesan tersirat Tuan Paul dari Tarsus mengenai, kepentingan bersama tanpa kecuali, tanpa pengecualian.

Mungkinkah dapat dikenal wajah idaman kita, sebentuk khayal yang muncul ketika berdiri mematut-matutkan diri di depan cermin besar kehidupan. Mungkin juga, kitalah orang dari penantian. Bahkan ketika penantian inipun merujuk kepada luaran yang melampaui, namun yang tetap masihremang ujud.

Tentu saja dibutuhkan waktu untuk berakrab-akrab. Agar pengenalan maupun perkenalan itu menjadi lebih jelas di penantian. Realitas tadi selalu membiaskan panggilan pengalaman bagi manusia dari saat ke saat. Bahwa ketika luaran inipun lebih jauh membiaskan paham akan landasan dan tujuan. Dari dan kepada siapa semua pertanggungjawaban pengalaman akan bermuara. Dan bukan hanya sekedar konsep pikir. Hal inipun juga merupakan sebuah tantangan yang lain. Mungkin saja, ini adalah hal yang melampaui subjektivitas diri serta masih sulit untuk dipaparkan secara cepat, tepat dan jelas….. (bersambung)

[1] Mat.5 : 38

[2] Lagu Diana Ross dalam Film James Bond Live and Let Die

[3] demokrasi

[4] Machiavelli

[1] NTT Ekspress Maret 2000

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline