Lihat ke Halaman Asli

Catatan Catatan Tercecer 1

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Catatan Catatan Tercecer 1

untuk Ina Melissayang kembali[1]

Kepergian yang begitu cepat, pamitmu diam campur enggan, menyisakan rahasia buat yang tinggal, pada akhirnya hanya ada airmata dan kenangan yang tak bisa dihapus,…….kami masih berlari sibuk menanti di kekinian…….

HIDUPmembawa orang ke orang masuk ke dalam peristiwa mengalami, dan kemudian akan membuahkan pengalaman bagi mereka sendiri.Pengalaman tentang hidup dan pengalaman yang di ekstrak dari dan dalam hidup itu. Demikianpun dapat dikatakan, dan menjadi kenyataan bahwa kehidupan berlangsung danberlaku bagi siapa saja. Diikuti oleh bertumbuh-kembangnya segala macam bentuk pengenalan maupun perkenalan di antara mereka sama sendiri. Mereka begitu cepat akrab, dan menjadi lebih akrab satu dengan yang lainnya. Selanjutnya setiapkalinya membuahkan sejarah, dan di dalam sejarah. Melanjut tanpa bisa ditahan, di keseharian.

Masih saja berlangsung di sini segala yang membentuk khayal, mimpi, harapan dan kerja, lalu berakhir, kandas. Kemudian hanya meninggalkan tragedi kebuntuan pikir di perjalanan, yang disebut-sebut juga sebagai wajahnya kehidupan. Di penghujungnya akan mengerucut jadi persoalan iman atau berputar-putar pada labirinth pikir. Ataupun pada yang entah.

Di momentum ini, masihlah juga riuh didengar lafalan-lafalan dari akar kata-akar kata lama yang karena maunya hidup, terus-menerus di kemukakan. Kemudian diberi makna. Juga di dalam pengertian, bukan hanya sekedar menambah-nambahkan imbuhan pada sesuatu kata. Upaya-upaya demikian menjadi sebegitu penting. Dan sangat penting. Sebab bertaut erat dengan kehidupan mereka-mereka yang berkenan. Mereka yang ditemukan senantiasa sedang atau terus-menerus mencari makna.

Mengapa manusia mau berlelah di dalam hal-hal ini? Mengapa ia mau sibuk dalam nama ini dan atau nama itu? Jawaban mudahnya, adalah paling tidak karena dia sendiri merasa perlu. Atau karena ia memang mau atau menghendakinya. Bahwa dia sedang mengalami berbagai peristiwa, di mulai padadirinya sendiri dan merambahke semua yang di luar itu. Bisa saja dimulai dari hal-hal dekat, lalu berkembang pada yang melampaui manusia itu sendiri. Peng-alam-an dari proses meng-alam-i nyaseseorang akan membuahkan pemaknaan sepanjang dikehendaki atau ketikadia sendiri memang mau bermakna. Hanya karena dia sendiri berada didalam sesuatu keseharusan untuk melakukan pemilihan itu. Walaupun untuk itu dia harus tetap waspada dan tidak mengabaikan pelbagai kemungkinan yang lain. Dan hal inipun berlaku, sepanjang ada kesediaannya untuk mau berbagi pengalaman.

Manusia sendiri memahami bahwa makna dan pemaknaan pengalaman itu merupakan tugas dan panggilan mendasar dari kehidupannya sendiri yang sedang berlangsung sampai dengan atau di saat ini. Pengalaman demi pengalaman, pengalaman membuahkan pengalaman akan membawa dan menjadikan dia menjadi lengkap, penuh. Tanpa dapat atau perlu disebutkan bilamana dan di mana, dalam sesuatu rentangan waktu. Sangat situasional. Manusia masih sebagai yang setia berolah-gerak, ketika dia berkehendak mau menyempurna.

MEMILIH bagi manusia, selalu di dalam pengalamannya sendiri. Siapapun dia, atau siapapun kita. Suka atau tak suka, kita selalu berada atau tertempatkan pada ketertentuan menghadapi seribuan pintu pemilihan[2]. Banyakpintu, beragam pilihan, seakan-akan setia mengepung manusia itu sendiri di segala arah. Pintu-pintu itu sedemikian pentingnya. Pintu mana yang dipilih dan dimasuki, maka ke sanalah nantinya masa depan pemilih dibentuk atau terbentuk. Bukan berlebihan untuk mengatakan bahwa kedepanan pemilih itu ditentukan ketika ia melakukan pemilihan atas apa yang ada di hadapannya. Tentu saja ia sendiri berada pada posisi bukan sekadar memilih.

Pintu-pintu masuk untuk memilih selalu terbuka formal bagi mereka yang sedia memilih di bilik-bilik pemilihan. Bisa saja biliknya telah ditetapkan terlebih dahulu, demi keteraturan atau mungkin kepentingan si pemilik bilik. Jelasnya, sipemilih bukan sengaja datang memilih pada bilik bambunya Ahmad Albar dari God Bless, atau gerbang Abadi Karya Tuan Farijdz di Kedondong Emas[3]. Sebegitu beragam pilihan yang terbentang membuka di hadapan kita. Konon, berlangsung sejak nenek tertua terbuang dari negeri impian-Eden, dan melanjut di dalam zaman.

Memilih juga berarti selalu menyisakan bagi kita sejumlah konsekuensi yang tak terukur sebelumnya. Masih tetap merupakan sesuatu misteri, dan sekaligus berisiko. Setiap langkah yang diambil untuk memilih atau pilihan yang diambil dan disikapi di sini, akan sangat menentukan seharusnya dan bagaimana nantinya sipemilihdi pemilihan tersebut. Termasuk ketika dia sepakat memilih untuk tidak memilih.

Jikalau diminta untuk waspada, mencermati biasan-biasan kemungkinan lain, membawa konsekuensi. Betapa perlunya seseorang berlapang lapang dada mau atau bersedia mereduksi, mengeliminasi atau merubah semua peran dan peranan yang sudah dilakonkannya selama ini. Termasuk misalnya, pada peristiwa pemilihan seperti yang disebutkan di atas. Jikalau memang itu dikehendaki.

Adalah memang wajar, dan itu kebutuhan. Lakukanlah koreksi-koreksi tanpa berarti, mesti lari dari sebuah ikrar. Tentu saja tidak perlu menjadi sekadar pragmatis. Sebab memainkan peranan dan berperan seperti itu, bukanlah buah dari suatu tawaran keramat. Ataukah harga mati dari sebuah transaksi berjalan.

Ini sungguh-sungguh hanya sesuatu pesan kerja bagi manusia sendiri. Yang mana setiap-kalinya ia bisa melihat dan menguji, sembari berjalan memenuhi hakekat peranan dimaksud. Bahwa representasi peranan dalam pengalaman memilih itu, membuat siapapun akan masuk ke dalam perjumpaan-perjumpaan dengan dan di antara sama sendiri. Bisa saja ia berjumpa dengan yang sama. Ataukah mungkin ia akan berjumpa dengan yang melampaui atau mengatasinya. Dalam artian ia dijumpai oleh yang melampaui atau mengatasi yang sama.

Menarik untuk ambil sikap dan meresponsi akan hal ini. Dalam artian dapat memberikan support kepada berbagai usaha penyelesaian pekerjaan rumah besar kemanusiaan. Sebutkanlah seperti, kebersamaan, yang sudah cukup lamadikehendaki. Seakan salah satu sisi dari dua muka kepingan uang logam yang tak bisa dihindari; sepanjang hidup memang mau bermakna.

Mungkinkah ini masih dikenal kembali? Toh ini wajah sendiri, sebentuk khayal yang muncul setiapkalinya ketika mematut-matutkan diri di depan cermin besar kehidupan.

Mungkin saja kitalah orang dari sebuah penantian. Bahkan ketika penantian ini sempat merujuk pada sesuatu luaran yang melampaui tadi, yang disadari masih remang ujud. Memang senantiasa dibutuhkan waktu untuk menjadi akrab, dan agar pengenalan maupun perkenalan itu menjadi jelas di penantian. Realitas tadi, selalu membiaskan panggilan pengalaman bagi manusia dari saat ke saat. Bahwa ketika luaran ini, lebih jauh membiaskan pemahaman akan landasan dan tujuan. Dari dan kepada siapa semua pertanggungjawaban dari pengalaman manusia mau bermuara, dan bukan sekadar konsep pikir. Inipun juga merupakan tantangan yang lain. Mungkin ini adalah sesuatu konsepsi yang melampaui subjektivitas diri, dan masih saja sulit di paparkan secara rinci, tepat, dan jelas.

Kita tak selalu mampu untuk mengungkap semua konsep ke dalam kata, tanda-tanda atau simbol-simbol sebagai bahasa. Selalu ada yang tertinggal, bersama dengan yang membentuk jadi pengetahuan. Pada tingkatan tertentu, panggilan itu menggema bersahut-sahutan, menggetarkan kalbu dan dimensi-dimensi terdalam kedirian kita…(bersambung)

[1] NTT Ekspress Maret 2000

[2] Soren Kierkegaard

[3] Rumah teman di Kupang, berfungsi sebagai KantorBisnisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline