Lihat ke Halaman Asli

MEX MALAOF

Terus Bertumbuh dan Berbuah Bagi Banyak Orang

Tak Ada Kayu yang Lebih Baik bagi Yesus untuk Mengobarkan Api Cinta-Nya, Selain Kayu Salib

Diperbarui: 28 Maret 2021   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini, segenap umat Katolik Roma di seluruh dunia, merayakan dan mengenang kembali peristiwa Yesus Kristus memasuki kota Yerusalem, dengan menunggang seekor keledai yang bagi orang Yahudi adalah binatang terhormat dan simbol perdamaian. 

Di kota itu, Yesus disambut bagaikan seorang Raja. Lautan manusia tumpah ruah dijalan-jalan, menghamparkan pakaian mereka, dan dengan palma di tangan mengelu-elukan Yesus dengan berseru, "Hosana Raja Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan! Diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan Bapa kita Daud! Hosana di tempat yang tinggi!". 

Mengherankan adalah walaupun Yesus memasuki kota itu sebagai raja akan tetapi, Ia tidak disambut oleh orang-orang hebat, terpandang, dan terhormat di sana. Sebaliknya, Ia hanya disambut oleh para rakyat kecil dan sederhana. 

Ini wajar, karena ajaran yang disampaikan oleh Yesus, sungguh bertentangan dengan para pemimpin Yahudi saat itu, sehingga dengan berbagai macam cara, mereka berusaha untuk membunuhNya. 

Pemerintahan Romawi dengan segala kebesaran, kekuasaan, dan berbagai ketetapan yang menghimpit dan menyengsarakan rakyat, membuat mereka sangat merindu, mengimpi  dan mendambakan seseorang yang dapat membawa mereka keluar dari segala persoalan yang ada. Yesus dengan segala ajaranNya yang pro kepada yang kecil, sederhana, dan terbuang, dirasakan sebagai sosok atau figur yang tepat untuk itu. 

Rupanya, apa yang dipikirkan oleh masyarakat Yerusalem saat itu, jauh berbanding terbalik dengan maksud dan tujuan utama kedatangan dan kehadiran Yesus di Kota suci itu. Yesus datang ke sana untuk menderita, sengsara, dan wafat di kayu salib, bukan untuk menjadi pahlawan duniawi mereka. 

Oleh karena itu, ketika mereka tahu bahwa keinginan mereka tidak terwujud, mereka yang sebelumnya menghamparkan pakaian dan dengan palma mengelu-elukan Yesus, berbalik menyerang dan berterik, " Salibkan Dia, salibkan Dia, salibkan Dia". 

Kalau dipikir-pikir dengan akal budi manusia, penderitaan dan kesengsaraan yang akan dialami oleh Yesus, yang berujung pada kematianNya di kayu salib di kota Yerusalem, sebenarnya dapat Ia hindari. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa Ia akan mengalami semua itu di sana. Maka, logisnya, Dia tak perlu datang ke kota itu. Datang ke kota itu, sama dengan mati konyol.

Akan tetapi, apa yang dipikirkan oleh manusia, berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Yesus Kristus. Ia datang bukan untuk melakukan kehendakNya sendiri dan kehendak manusia tetapi, melakukan kehendak Dia yang mengutusNya (Allah atau Bapa) yakni, menderita, sengsara, wafat, dan kemudian bangkit untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. 

Yesus sudah membayangkan betapa ngerinya penderitaan yang akan dialamiNya. Maka, pada malam sebelum ditangkap, Ia bersama dengan tiga orang muridNya (Petrus, Yakobus, dan Yohanes), pergi ke taman Getsemani untuk berdoa. HatiNya sangat gentar dan takut, lalu kataNya kepada ketiga muridNya itu, "HatiKu sangat sedih, seperti mati rasanya. Tinggalah di sini dan berjaga-jagalah". Pertanyaan manusiawinya adalah kalau Yesus sudah merasakan kengerian, kegentaran, ketakutan, dan mau mati rasanya, mengapa tidak lari saja? 

Dalam kodradNya sebagai manusia, wajar Yesus merasakan hal-hal demikian sebagaimana dirasakan oleh manusia pada umumnya ketika menghadapi kesulitan, masalah, bahkan penderitaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline