Hal yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah fenomena quiet quitting dan quiet firing dalam dunia kerja. Quiet quitting adalah suatu situasi di mana pekerja melakukan pekerjaan seperlunya, sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.
Individu-individu yang melakukan quiet quitting adalah mereka yang telah membuat banyak pertimbangan untung rugi dengan perusahaan atau tempat kerja tertentu, boleh jadi mereka bekerja seperlunya untuk menjaga keseimbangan antara Kesehatan fisik maupun mental yang dimiliki. Orang yang terlalu memaksakan diri untuk bekerja -berjuang memberi yang terbaik bagi perusahaan-kadang lupa mempertimbangkan kesehatan yang dimilikinya.
Tentu sangat tidak menyenangkan jika seusai memberi diri habis-habisan dalam perusahaan kita jatuh sakit. Gaji yang diperoleh dari perusahaan seolah tidak ada artinya, habis bahkan kurang untuk mengurus kesehatan yang sudah fatal. Oleh karena itu, wisdom of the body harus selalu berjalan bersama semangat hidup. Berkonsultasi dengan tubuh adalah kewajiban, pertanyaan "sanggupkah saya melakukannya?" harus selalu terngiang dalam kepala.
Apresiasi dan kompensasi adalah hal yang terlihat sederhana dan kerap diangap sepele oleh para petinggi perusahaan, tetapi sesunguhnya hal tersebut memiliki peranan penting dalam "membakar" semangat para karyawan. Apresiasi dan kompensasi dapat memberikan semacam kepuasan psikologis bagi para pekerja, mereka akan merasa jerih lelahnya lebih dihargai dan bersemangat untuk memberi lebih.
Sedangkan quiet firing adalah sikap perusahaan yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiet quitting. Yakni dengan mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya dengan tidak melibatkannya dalam proyek dan promosi.
Quiet firing sepintas terlihat problematis, pihak perusahaan berprasangka buruk terhadap karyawan yang memberikan performa seperlunya. Prasangka negatif tersebut berujung pada keputusan untuk tidak melibatkan karyawan bersangkutan dalam proyek dan promosi. Tindakan yang diambil oleh pihak perusahaan sangat tidak bijaksana.
Pihak perusahaan seharusnya mengakomodasi kooperasi yang baik dalam perusaan dengan menjunjung tinggi komunikasi dan transparansi. Keterbukaan antara karyawan dan perusahaan tidak akan menimbulkan prasangka negatif antara keduanya, khususnya pihak perusahaan yang memiliki wewenang lebih dalam mengatur sistem kerja perusahaan.
Quiet quitting dan quiet firing akan menjadi persoalan besar yang tak terpecahkan jika tidak dikomunikasikan secara baik. Kedua pihak akan sama-sama dirugikan, pihak perusahaan memperoleh performa kerja karyawan yang tidak maksimal dan karyawan dirugikan lantaran tidak dilibatkan dalam proyek dan promosi. Selain itu ada tegangan ketidakpuasan psikologis antara keduanya. Selalu ada solusi dalam komunikasi yang berjalan baik.
Saya secara pribadi yakin persoalan yang menyerupai quiet quitting dan quiet firing terjadi di banyak bidang kehidupan --bukan hanya dalam dunia kerja. Prasangka selalu hadir saat transparansi tidak dilanggengkan. Komunikasi masih menjadi metode efektif menanggapi persoalan-persoalan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H