Jika anda sedang berlibur ke timur Indonesia, kurang lengkap rasanya jika tidak memasukan negeri di atas awan kedalam daftar kunjungan Anda. Desa Wae Rebo adalah sebuah desa tradisional di Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Desa ini terkenal karena arsitektur rumah-rumah tradisionalnya yang unik, yang dikenal sebagai Mbaru Niang. Rumah-rumah ini dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti kayu dan daun-daun lokal, dan memiliki bentuk yang seperti kerucut dengan atap yang terbuat dari daun ijuk.
Rumah adat Wae Rebo merupakan rumah yang dibangun menggunakan material-material alami seperti kayu, daun-daun ijuk, dan bambu. Bangunannya menyerupai bentuk kerucut dan terdiri dari tujuh buah rumah yang disusun secara berjajar. Masing-masing rumah memiliki tinggi sekitar 5-7 meter dan memiliki luas sekitar 20 meter persegi.
Rumah-rumah tersebut dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu, sehingga memudahkan penduduk desa untuk berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Selain itu, rumah-rumah tersebut juga dilengkapi dengan lubang pada bagian atasnya sebagai jalan masuk cahaya matahari.
Keunikan rumah adat Wae Rebo terletak pada cara pembangunannya yang tidak menggunakan paku atau baut, melainkan hanya menggunakan ikatan-ikatan dari kayu. Hal ini membuat rumah-rumah tersebut kuat dan tahan lama meskipun terpapar cuaca yang buruk.
Selain itu, desa Wae Rebo juga memiliki kebudayaan yang unik dan kaya. Penduduk desa tersebut masih menjaga tradisi-tradisi lokal seperti upacara adat, tarian, dan musik. Hal ini menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang budaya dan kebiasaan penduduk desa tersebut.
Penduduk desa ini terdiri dari beberapa suku yang berbeda, termasuk suku Manggarai, suku Rongga, dan suku Denge. Mereka hidup berdampingan dan saling menghargai, serta mempertahankan budaya dan tradisi masing-masing.
Salah satu tradisi yang terkenal di Desa Wae Rebo adalah Upacara Adat Penti yang dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati, juga sebagai tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih).
Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September). Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau hal itu terjadi, akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai.
Desa Wae Rebo juga terkenal karena kebudayaan dan tradisi suku Manggarai yang masih kuat di komunitasnya. Masyarakat desa ini masih melestarikan adat-istiadatnya, termasuk dalam cara berpakaian, bercocok tanam, dan bersosialisasi.
Desa Wae Rebo cocok untuk wisatawan yang menyukai alam dan budaya. Dengan keindahan alam pegunungan yang masih alami dan terjaga, serta arsitektur rumah adat yang unik dan simbolik, Desa Wae Rebo menawarkan pengalaman wisata yang berbeda dari destinasi lainnya.