Pada 28 Oktober 2020, tepat pada peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92, saya mendapat paket dari Pater Lukas Batomomolin SVD. Paket tersebut berisikan dua buah buku berjudul 'Komunikasi Sadar Budaya -- Nuansa Lain Studi Komunukasi Antar Budaya'. Saya merasa sangat bersyukur dan menganggapnya sebagai 'kado istimewa' karena tiga alasan berikut:
Pertama, buku setebal 491 yang diterbitkan Yayasan Pustaka Nusantara, Yogjakarta (2020) itu adalah buah refleksi kritis dan kreatif Pater Lukas sendiri setelah mengeyam pendidikan jurusan International Communication di American University, Washington, DC (lulus tahun 2000), dan berkarya sebagai bekerja di penerbitan Katolik di Asia Tenggara sejak 2007 hingga sekarang. Saat ini, Pater Lukas adalah anggota International Communication Association (ICA) dan National Communication Association (NCA). Dua kali, dia menjadi dosen tamu untuk Lembaga Layanan Luar Negeri Departemen Luar Negeri AS, membantu mendidik para diplomat tentang peran budaya dan agama di Indonesia.
Kedua, Pater Lukas adalah putra Kei-Maluku Tenggara. Namun, sejak 1985, saya menganggapnya sebagai 'saudara' karena sama-sama berupaya menghidupi spiritualitas Santo Arnold Jansen, pendiri Serikat Sabda Allah (SVD). Dia menjalani studi filsafat dan teologi di Sekolah Tinggi Fisafat Katolik/Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, Flores (1983-1991). Sejak masa kuliah dia rajin menulis, bahkan pernah menjadi pengasuh Seri Buku Vox, terbitan Seminari Tinggi Ledalero. Bahkan, dia pernah menjalani Tahun Orientasi Pastoral (magang) di Kantor Redaksi SKM DIAN dan Flores Pos. Bakat dan kemampuan menulisnya itu telah menginsipirasi banyak adik-adik kelasnya di Ledalero untuk belajar menulis.
Ketiga, selain memperluas wawasan pribadi, buku ini menjadi referensi tambahan bagi saya dalam mengampu matakuliah Pemahaman Lintas Budaya, kegiatan yang saya lakoni sejak 2007 silam.
Komunikasi dan budaya adalah praktik yang sudah setua peradaban umat manusia. Namun, konsep dan teori yang mengaitkan komunikasi dan budaya boleh dibilang relatif baru. Ia baru bertumbuh para era Perang Dingin, karena dunia terpolarisasi menjadi dua kekuatan yang terpisah dan bersaing: Timur dan Barat.
Kaitan antara komunikasi dan budaya, bahkan semakin subur bertumbuh tat kala terjadi perubahan dan kemajuan pesat dalam hubungan ekonomi-bisnis, sistem politik, dan pilihan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi meruntuhkan sekat-sekat budaya. Perubahan radikal terjadi di banyak bidang kehidupan. Di bidang ekonomi dan bisnisnya, kapitalisme individual dan kelompok berubah menjadi kapitalisme global . Di bidang politik dan pemerintahan, sistem otoritarian dan kedaulatan negara berubah menjadi demokrasi liberal dan penguatan kerjasama global.
Globalisme mendesak para pelaku bisnis untuk mulai menghargai komunikasi dan budaya. Mereka kemudian giat menawarkan pelatihan bahasa dan program untuk memahami budaya bangsa lain, sehingga para pekau bisnis dapat berkomunikasi, bernegosiasi dan berperilaku selaras dengan nilai-nilai budaya lokal ketika berada di luar negeri. Sementara itu, di lingkungan pemerintahan, banyak negara mulai mengembangan program pelatihan bahasa dan kebudayaan, sebelum menempatkan diplomat dan stafnya di luar negeri.
Kemudian, pada 1974, Organisasi Kemajuan Internasional (IPO) sebuah LSM internasional berbasis di Viena, dengan dukungan dari UNESCO dan di bawah naungan Presiden Senegal, Lopold Sdar Senghor, mengadakan konferensi internasional pertama tentang "Pemahaman Budaya Bangsa-Bangsa" ( Innsbruck , Austria , 27-29 Juli 1974). Konferensi tersebut mendesak negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatur penelitian komparatif sistematis dan global tentang budaya yang berbeda di dunia, melakukan semua upaya yang mungkin untuk pelatihan diplomat secara lebih intensif di bidang kerjasama budaya internasional, dan mengembangkan aspek budaya dari kebijakan luar negeri mereka.
Singkat kata, sejak awal decade 1970-an, masyarakat dunia semakin menyadari bahwa literasi/pemahaman lintas budaya adalah elemen penting bagi percepatan kemajuan di semua bidang kehidupan, mulai dari kesehatan, teknologi, ekonomi-bisnis dan politik-kemananan suatu negara.
Dunia pendidikan tinggi (kampus) merespon kesadaran baru global itu dengan memasukan perspektif komunikasi lintas budaya dalam kurikulumnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghasilkan lulusan yang mampu "bertransformasi" sehingga berfungsi secara efektif dan nyaman di dunia yang semakin dicirikan oleh hubungan yang erat dan beraneka ragam serta lintas batas.
Dalam kontek seperti itu, Pater Lukas meyakini bahwa bukunya dapat dimanfaatkan sebagai suplemen textbook atau bahan ajar dalam bidang komunikasi antar budaya, dan bidang studi lain seperti komunikasi, kesehatan, ekonomi dan bisnis. (hal.10). Bahkan, ia mengharapkan bukunya dapat membawa perspektif baru dalam studi komunikasi antar budaya di Indonesia. Sebab bukunya memuat tren atau nuansa lain studi kamunikasi antar budaya, di mana teori-teorinya sedang dtinjau kembali dari aspek historis, epistemologi dan metodologinya.