Lihat ke Halaman Asli

Para Pemikir, Nasibmu Kini

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1367226759875433679

[caption id="attachment_240739" align="aligncenter" width="300" caption="The Thinker Gates of Hell Auguste Rodin~image: starlight tower"][/caption]

tak banyak intelektual yang dapat mapan kehidupan ekonominya karena karir intelektualnya. umumnya masih mending kalau sudah dapat berpenghasilan lumayan, makan cukup dan bisa mencicil rumah tipe 36 atau bahkan 29, ataulah 21 tiap bulannya. sedikit sial tentu menerima hidup pas-pasan, jualan konsep dan buku yang tak laku-laku.

karir intelektualpun tak mudah. belajar musti tinggi, tekun agar berisi, kalau perlu kuliah ke luar negri untuk menambal 'nilai jual' diri.

di negeri ini para pemikir tak ada harganya. di negeri tempat orang lebih suka ramai sikut-sikutan. pengetahuan sekedar alas kehidupan, tempatnya di kedalaman lumpur kotor kehidupan.

coba tengoklah nasib para pemikir di negeri ini. lebih banyak mati dengan tak tenang, nasib keluarga sepeninggalnya tak tentu, mengantar pelepasannya ke pedih hati. mereka yang sakit, harus menggunakan jaminan ini itu untuk dapat berobat. beruntung kalau masih memiliki kawan-kawan yang pernah bersamanya berjuang. membantunya sekedar berobat, di rumah-rumah sakit kelas III. intelektual hampir seperti orang pesakitan di negeri tempat orang-orang yang tak ramah dengan pengetahuan.

beberapa kawanku yang setia dengan keintelektualannya, syukur bisa mengajar. mereka masih terus rajin menulis. beberapa buku mereka hasilkan tiap tahunnya. ada buku filsafat, pengantar tasawuf, sosial keagamaan, dan sastra, diantaranya ada yang coba menulis sejarah. tak sedikit kawan-kawanku yang masih menjadi dosen, menulis buku sesuai dengan ritme materi yang diajarkannya dikampusnya. tentu ini sebuah strategi sendiri. kita tahulah, dosen gajinya berapa? nah, buku-buku inilah yang kemudian sebagian menjadi penghidupannya. sering kawan-kawanku ini merekomendasikan bukunya sendiri untuk dibeli para mahasiswanya, kerap menghubungkannya sedemikian rupa dengan mata kuliah yang diajarkannya agar bukunya menjadi rujukan utama mahasiswanya, utama saat megerjakan makalah.

begitulah nasib para intelektual. mereka yang sudah memiliki nama besar sekalipun di dunianya masing-masing bergelut, tak mendapat jaminan hidupnya juga lebih baik. menulis buku berjilid-jilid, berperan besar membangun peradaban dengan gagasan-gagasan besa dan kecilnya. sekian puluh penghargaan dan award. tak banyak, yang sampai pada taraf kemapanan. barangkali ini juga didukung dengan gaya hidup para intelektual, tetap nyentrik tetapi selalu sederhana. tak muluk, fokus, dan apa adanya. BEBERAPA DIANTARANYA KINI, TERBARING SAKIT DAN MENUNGGU ULURAN TANGAN HANDAI TAULAN UNTUK BIAYA KESEMBUHAN DIRINYA. MINIMAL MENUNGGU HANDAI TAULAN BERDOA SEMOGA YANG MAHA KUASA MEMUDAHKAN JALAN HIDUPNYA, DAN HANDAI TAULAN TERSENYUM MANIS PADANYA. di sisi lain tak heran kalau anak2 muda sekarang lebih milih jd politisi, NYALEG nyari suara sana sini! di tempat perputaran uang terus mengalir dengan derasnya sepanjang hari. ramai sekarang jelang PEMILU 2014. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline