Lihat ke Halaman Asli

Hayy ibn Yaqzan, Akal Menemukan Jalan Spiritual

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan manusia menapaki jalan spritualnya, demikianlah Hayy ibn Yaqzan dikisahkan oleh Ibn Thufail. Pencarian jalan yang benar dengan berbagai tahapan pengamatan dan tindakan. Hayy Ibn Yaqzan mulai melakukan pencarian dengan memulai pengamatan-pengamatan inderawainya, kemudian rasio, dan ketiga batinnya. Sedikit demi sedikit Hayy mulai melakukan itu, mengamati fenomena yang ada di sekitar, binatang, bintang, gejala alam, yang kemudian jalan pada Sang Kebenaran ia temukan setelah melalui tahapan demi tahapan itu. Hayy berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.

Kisah ini dimulai dengan penuturan Ibn Thufail yang mengatakan bahwa ada dua versi tentang keberadaan Hayy ibn Yaqdzan. Pertama, Hayy Ibn Yaqzan dilahirkan oleh seorang Puteri yang memiliki saudara seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang sang Puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqdzan, mengawini sang Puteri. Dan sang Puteripun akhirnya hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang Raja, maka sang Puteri menghayutkan anaknya ke laut pada sebuah peti. Peti itupun sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. Peti yang berisi Hayy ibn Yaqdzan ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang kemudian mengasuhnya.

Kedua, dikatakan bahwa Hayy ibn Yaqdzan lahir karena proses alam. Perpaduan antara unsur-unsur alam yang menyatu dalam tanah dengan tekstur dan kondisi dalam rahim. Sedemikian rupa karena terolah dengan baik dalam waktu yang cukup lama oleh alam akirnya tanah tersebut melahirkan Hayy ibn Yaqzan yang kemudian ditemukan dan dirawat sang Rusa.[1]

Selama tujuh tahun Hayy ibn Yaqzan dirawat sang Rusa, dan belajar bagaimana cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqzan kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.

Pengetahuan Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat menghangatkan diri dan memperoleh penerangan di kala gelap melanda. Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya untuk memasak makanannya.

Ketika mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy ibn Yaqzan mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah terpatri satu zat tunggal yang diimani sebagai sang pencipta segalanya. Hayy menemukan Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya.

Pengamatannya berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam, demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu tesis bahwa alam ini begitu teratur. Dan tentu ada dzat maha sempurna yang mengaturnya yang tentunya maha kekal dan tidak sama dengan alam semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.

Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqzan saat ia berusia 35 tahun,[2]ia mulai mencari kebenaran melalui pencarian melalu penelusuran ulang tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme mana yang membawanya pada kebenaran. Dan ia kemudia berkesimpulan bahwa, ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan indra, ruh, dan jiwa. Menuntunya pada tingkatan-tingkatan yang pernah dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui pancaran cahaya ilahi.

Kisah inipun semakin menarik ketika datang Asal atau Absal dari pulau seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn Yaqdzan yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan hidup kesendirian. Asal atau Absal ini berasal dari sebuah pulau yang dipimpin oleh Salaman, sahabat Asal yang memilih hidup zuhud di tengah masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal inilah Asal dan Salaman kemudian berpisah.[3]Di pulau yang dikira Asal tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqzan dan Asal bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Asal pun berlari dan bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain dengan pakaian aneh yang dipakainnya, mengejar dan mencari Asal yang bersembunyi. Asal akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Asal tetap mencoba berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy ibn Yaqzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Asal sedikit demi sedikit memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang pengalaman mereka. Asal bercerita tentang kaummnya yang ada di pulau seberang yang hidup dengan cara hidup agama wahyu yang nampak adikodrati. Sedang Hayy menceritakan pengalaman hidupnya setelah lama hidup di pulau Waq-waq sendiri, dan ia bercerita pula tentang pencapaiannya pada cahaya cinta sang Illahi. Bahwa dengan pengamatan dan penalaran yang dilaluinya ia telah sampai pada maqam pencari kesejatian, menemukan apa yang dicarinya.

Merasa satu jalan dengan Hayy ibn Yaqdzan, Asal yang merasa bahwa apa yang dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah dirubah, yaitu dengan jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqzan. Ia ingin agar penduduk di kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqzan memperoleh hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung halaman Asal, menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy Ibn Yaqdzan, ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. Sesampainya di tempat Asal, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy Ibn Yaqzan dan Asal memilih kembali ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di tempat Asal berasal. Kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan kehidupan.

[1] Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqzan, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal 19-20

[2] Saya tidak tahu kenapa Ibn Thufail memilih usia ini. Mungkin saja karena memang pada usia inilah manusia biasanya memperoleh kematangan diri, atau juga ini didasarkan pada pengalaman pribadi Ibn Thufail sendiri yang mencapai kematangannya pada usia ini.

[3] satu metafor untuk menggambarkan antara Filsafat yang diwakili Asal dan menganut ajaran agama secara fatalistik ala para fuqaha, yang diwakili Salaman. Dan juga menggambarkan ketidakharmonisan hubungan intelektual Ibn Sina dan al-Ghazali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline