Lihat ke Halaman Asli

Beban Moral yang Sama Beratnya dengan Kayu Tambora

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1381441123117155168

Rasanya hitungan saya tak salah, memang benar ini adalah gelas kopi kesepuluh yang telah saya minum dalam rentang waktu sekitar 8 jam, berarti rata-rata dalam sejamnya saya meminum satu gelas kopi setiap jamnya, dan hanya pada saat di Pulau Santondan saja, mulut ini tidak menyentuh segelas caffeine tersebut. Saat inipun, lambung terasa sudah mulai mengalami kontraksi, akibat banjir caffeine dalam lambung ini, namun lagi-lagi, lidah tetap memohon-mohon agar diseruputi caffeine khas kaki Gunung Tambora yang telah mendunia namanya sejak masa kolonial dahulu.

Gak difoto tuh Max, nenek-nenek yang lagi bawa kayu gede itu?” Ujar Bang Opik yang sembari menunjuk kearah tiga orang nenek yang sedang membawa kayu-kayu besar, khas hutan Gunung Tambora.

Kamera yang sebenarnya begitu mudah untuk dijangkau, serta moment human interest yang sangat jarang saya maupun orang-orang temui dikehidupan sehari-hari saat ini, seakan menguap begitu saja. Bukan karena tangan saya sudah cukup letih mengangkat kamera ini lagi, bukan juga karena kopi serta kue-kue yang dihidangkan oleh ibu bidan yang membuat saya melewatkan moment tersebut, melainkan karena moment itu sendiri membuat hati dan otak saya ini berperang satu sama lain.

Saya teringat dengan perkataan Daeng tadi malam, bahwa sejak perusahaan kayu swasta yang telah menetap di Desa Calabai Kabupaten Dompu Gunung Tambora pada Tahun 1960-an hingga awal Tahun 2000-an lalu, masyarakat lokal secara ilegal mencari dan menjual sendiri kayu-kayu besar yang berada di hutan Gunung Tambora. Kayu itu sendiri seperti halnya kayu jati, berguna sebagai bahan dasar pembuatan rumah, serta meubel-meubel. Namun yang membedakan kayu tambora ini dengan kayu jati adalah dimana kayu tambora berbentuk polos, tidak seperti kayu jati yang memiliki urat-urat atau uliran khasnya.

Atas perkataan Daeng tersebut semalam dan moment tiga orang nenek yang sedang memanggul kayu-kayu tambora, nurani saya berkata, bahwa betapa kejamnya diri saya ini, jika saya mengambil gambar tiga nenek tersebut dengan kayu-kayunya, kemudian saya ceritakan bahwa kayu-kayu yang dipanggul tersebut, adalah kayu-kayu dari pohon langka yang masih mendiami beberapa sudut Gunung Tambora, lalu atas cerita saya tersebut, penegak hukum setempat, menindak lanjuti cerita saya tersebut dengan melarang adanya penebangan ataupun penjualan kayu-kayu khas Gunung Tambora itu. Maka yang menjadi beban moral berikutnya yang harus saya tanggung adalah, darimana lagi nenek-nenek tersebut serta beberapa masyarakat yang menggantungkan hidup dirinya serta keluarganya pada kayu-kayu dari pohon langka itu? Dengan kata lain, saya sama saja telah membunuh secara perlahan masyarakat-masyarakat di kaki Gunung Tambora, yang menggantungkan hidup pada kayu-kayu tersebut.

Kemudian otak sayapun sudah menolak secara keras sejak pembicaraan dengan Daeng semalam. Saya sangat tidak setuju dengan pembalakan liar pohon-pohon besar nan kuat, khas hutan-hutan di Gunung Tambora yang mulai langka. Dengan pembalakan liar tersebut, maka dengan sendirinya berkuranglah paru-paru bumi, atau secara spesifiknya, dengan pembalakan liar tersebut, mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air dan menjadikan Gunung Tambora tak ubahnya seperti Gunung Gede Pangrango yang hutan-hutannya telah ‘dikonvensikan’ menjadi villa-villa pribadi.

Lalu, apa yang harus saya dan kita semua lakukan untuk bertindak adil atas saudara-saudara kita yang menggantungkan hidupnya pada hutan-hutan di Gunung Tambora, juga kepada alam Gunung Tambora itu sendiri.saya rasa berdiam diripun merupakan tindakan yang salah. Soe Hok Gie pun pernah berkata, “Lebih baik aku diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan.” Sebenarnya ada satu jalan keluar yang sebenarnya sangat klasik, namun saya rasa patut untuk dicoba. Jalan keluar itu adalah melalui pariwisata.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, untuk mengubah mata pencaharian masyarakat lokal, dari penggunaan sumber daya alam menjadi pendayagunaan sumber daya alam. Namun jika, masyarakat lokal diberikan beberapa penyuluhan dan pelatihan untuk menjadi pelaku pariwisata, serta diberikan juga bantuan berupa promosi destinasi pariwisata yang baru di Gunung Tambora kepada masyarakat secara luas, bahwa Gunung Tambora tidak hanya destinasi wisata bagi para pendaki gunung, namun dapat mencakup juga terhadap wisatawan yang mencari sejarah letusan Gunung Tambora, yang dari beberapa survey, masih menjadi letusan gunung terdahsyat pada masa modern, serta juga wisatawan yang mencari keindahan bawah laut dan pantai-pantainya, bahwa cukup 15 sampai 30 menit dari Desa Calabai maupun Desa Ngana Miro wisatawan dapat menginjakkan kaki di Pulau Moyo dan Pulau Satondan.

Memang menjadi penebang kayu-kayu tambora lebih menjanjikan dari segi pendapatannya, dibandingkan menjadi pelaku pariwisata, namun satu hal yang terus saya yakini, bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang takkan pernah mati ditelan zaman. Logika saya berfikir bahwa, semakin ‘sumpek’ atau padat kegiatan seorang manusia, maka pada satu waktu tertentu di sela-sela kegiatannya, manusia akan mencari sebuah hiburan, apapun hiburannya, yang terpenting adalah manusia tersebut dapat merelaksasikan otak serta otot-ototnya dari ‘kesumpekan’ kegiatan sehari-hari mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline