"Bagaimanapun juga ia tetap ayahmu. Tak baik jika memelihara benci terus-menerus", suara tenang seorang sahabat seperti memberi wejangan untuknya.
Sementara gadis itu hanya mendengarkan, bibirnya mengguratkan siluet sebuah senyuman. Ada kelebat garis wajah yang seolah memaafkan. Tapi otaknya terus memutar memoar masa lalu yang bertabur jelaga. Senyumnya kemudian buyar, hatinya melipat-lipat kertas kisahnya dahulu, lantas menulis dengan geram: "aku sudah jauh lebih nyaman di sini, dalam keadaan seperti ini, tanpa 'laki-laki' itu sekalipun!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H