Lihat ke Halaman Asli

Arofiah Afifi

Guru Paud.

Tersenyum dalam Luka, Perempuan

Diperbarui: 17 Mei 2024   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar. Pixa bay


Setiap manusia pasti memiliki masalahnya masing-masing. Saat kita melihat wajah yang ceria, senyum hangat dan tawa, bukan berarti mereka hidup tanpa beban. Tapi karena mereka begitu pandai menyembunyikan semua ujian demi ujian. Namun percayalah tiada  duka yang abadi di dunia ini. Setelah gelap malam, maka akan tiba mentari pagi.
***

Ting!
 WhatsAap di gawaiku berbunyi. Kubuka dan terlihat sebuah pesan panjang dari seorang kawan lama, satu angkatan saat kuliah.


[Assalamu'alaikum malam. Hai sobat aku ingin bercerita. 

Sekian lama aku melangkah, semakin tangisan di jiwa ini melukai.  Besok genap 36 tahun Aku anak keempat dari tujuh bersaudara. Namun mengapa aku selalu dibedakan dengan mereka? Sampai detik ini aku masih bertanya,  mengapa aku harus selalu menangis dalam diam di balik senyuman?
Semua orang menganggap aku selalu bahagia, karena melihat senyum manisku yang selalu ceria. Tapi apakah ada yang bertanya 'Bahagiakah aku sesungguhnya?'

 Aku  selalu mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tua, sering  disalahkan dan diabaikan. Meski telah kubaktikan diri, meski telah berkhidmat sepenuh hati. Salahku di mana?

Pun setelah menikah. Yang menjadi harapan dan impian, menemukan imam penyayang, melindungiku dan membasuh jiwaku yang terus dirundung luka. Namun apa? Bak pungguk merindu sang rembulan.   Sejak awal menikah aku tetap menangis dalam diam, tiada yang  tahu bahwa selama ini aku terus menangis dan membalut  luka di relung hati teramat dalam.  Diam dan  senyuman yang terus aku tampilkan,  demi menjaga nama baik semua. Demi kebahagiaan orang tua. Namun lukaku semakin meradang. Semakin menganga dan mengiris jiwa, membunuhku perlahan.
Seorang kawan berkata, kepadaku,  "Menangsilah engkau sepuasnya di depan-Nya, sampai  Allah memberikan pilihan yang amat terbaik kepadamu"
 Ini yang sedang aku lakukan,  agar senyumku dalam luka tak sia-sia. Hanya doa yang kumiliki sekarang.  Aku memohon kepada Penguasa langit dan bumi agar dalam senyumku tak ada luka lagi. Ada dua malaikat titipan sang Maha Pencipta yang harus aku jaga. Aku mohon doa agar aku dapat berdiri di kakiku sendiri,  agar Allah membukan pintu rezekiku seluas-luasnya.  Kutunggu bahagia yang  tertunda dan senyuman yang tak berkalang lara.]
Seroja, di serambi duka.
***

Hatiku tertegun membaca chat panjang dari Seroja. Begitu beratkah hidupnya?
Ingatanku menerawang pada awal perkenalan dengannya. Dia adalah perempuan yang acuh, dan terkesan kurang suka berbagi, ya setidaknya itulah yang aku nilai akan dia dulu. Meski akhirnya aku dapati sifat yang lain. Perempuan dengan tinggi 165cm itu ternyata begitu manja, dan perasa. Pintar dan terkadang terlihat begitu keras kepala. Di masa kuliah kami terlibat pertemanan yang cukup dekat. Namun sejak kami lulus, interaksi hanya terjalin sekali-kali.


Kukiirmkan chat balasan, dengan perasaan cemas.

[Waalikumsalam, Seroja. Bagaimana kabarmu?]

Ting!
Tidak menunggu lama chatku mendapatkan balasan.
[Alhamdulillah baik. Bisakah kita bertemu?]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline