Hari ini ayah dan ibu, berkerja sama di dapur, menyediakan banyak hidangan tak seperti hari biasa. Aku anak lelaki mereka pun harus ikut berjibaku, mengantar ibu ke pasar, membeli bebrapa bumbu dan semua kebutuhan.
"Bu kok tumben hari ini masak banyak, emang ada acara ?" tanyaku pada ibu yang sibuk di dapur.
"Hari ini tanggal 24 September Mas, peringatan Hari Tani Nasional, kita sebagai petani ingin lebih banyak bersyukur, dengan membuat masakan yang banyak. Semua masakan ini akan dibawa ke Balai Desa bersama warga yang lain. Nanti akan di undang warga kurang mampu, untuk makan bersama" panjang lebar ibu menjelaskan.
Oh iya ya. Aku sebagai anak SMU kelas 12, belum faham dengan tanggal dan peringatan nasional.
Aku ingat beberapa malam, ayah sering kedatangan tamu dan orang-orang yang katanya dari LSM, obrolan mereka tidak jauh dari soal pertanian. Seingat ku, ayah ikut terlibat bebrapa kali berdemo ke istana bersama para tamu. Mungkin ada yang sedang ayah perjuangkan entahlah.
"Pak Joko Pak Soni, tolong bawa semua makanan ke Balai Desa, nanti saya akan menyusul" ayah meminta tolong kepada dua orang hansip desa untuk membantu membawa semua makan itu .
"Bu, Mas. Ayuk duduk di sini semua!" Ayah meminta kami berkumpul di meja makan. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan. Kami pun duduk dengan sigap dan siap mendengarkan petuah ayah.
" Mas, kelak Ayah akan semakin renta untuk membajak, mengairi sawah dan menanam padi, kakak sulung mu memilih jadi dokter, itu juga demi pengabdiannya pada Negri ini."
"Mas. Mumpung Ayah masih kuat merawat sawah yang menajdi sumber penghidupan banyak orang, rajinlah belajar Mas, lanjutkan cita-cita Ayah menajdi seorang petani. Apa kamu mau Mas ?" tanya ayah penuh harap.
Aku tertunduk, sudah sering pertanyaan ini ayah ajukan, secara serius maupun santai. Ah apa hebatnya petani ? berpanas-panas di bawah terik mentari. Makin hitam kulitku nanti.