Lihat ke Halaman Asli

Mawarningrum

Mahasiswa

Stigma Sosial yang Terjadi Saat Pandemi Covid-19

Diperbarui: 15 November 2020   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh Mawarningrum

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ)

Masyarakat global saat ini masih mengalami masalah pandemi yang tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir. Sebagai virus yang baru muncul akhir tahun 2019, virus ini diantisipasi oleh masyarakat besar karena masih belum ditemukan vaksin khusus untuk mencegah penularan. Virus ini berawal dari kota Wuhan di Tiongkok lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Berbagai kondisi kehidupan manusia dipengaruhi oleh munculnya virus ini. Aktivitas masyarakat menjadi terganggu dari beberapa aspek seperti ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Sebelumnya berkegiatan di luar rumah adalah hal yang menyenangkan, berinteraksi, bercengkerama sesama individu dapat mempersatukan perbedaan.

Hampir 1 tahun aktivitas masyarakat masih belum kembali normal walaupun dibeberapa negara termasuk Indonesia sudah menerapkan New Normal untuk tetap menstabilkan perekonomian. New normal bukanlah keadaan kembali menjadi normal seolah tidak terjadi apa-apa, tetapi ialah kondisi masyarakat tetap melakukan aktivitas seperti bekerja ataupun sebagainya dengan tetap memakai masker, menjaga kebersihan, serta jaga jarak.

Sebagian negara telah mengatasi angka penurunan pandemi dengan menjaga ketat kebersihan baik itu kebersihan diri maupun fasilitas masyarakat. Hal ini juga didukung oleh pemerintahnya yang mampu mengatasi permasalahan di negaranya, tetapi masih banyak yang tidak bisa menurunkan angka peryebaran di beberapa negara salah satunya Indonesia. Negara ini masih mengalami masalah pandemi, bahkan kasus persebaran makin bertambah setiap harinya. Tidak hanya pemerintah yang mencari solusi tetapi masyarakat seharusnya ikut adil mengantisipasi terjadinya penyebaran agar tidak meningkat. Masyarakat bisa melakukan pencegahan dengan rajin menjaga kebersihan diri, rumah dan lingkungan serta turut memakai masker, menjaga jarak dan penerapan protokol kesehatan.

Fenomena sosial mengenai pandemi memunculkan respons dari sebagian besar masyarakat. Virus yang dapat menular itu membuat masyarakat panik akan virus yang bisa menginfeksi dirinya.  Fenomena ini mempengaruhi situasi yang awalnya normal menjadi berpandangan negatif atau stigma terhadap individu lain. Penyakit yang juga memiliki gejala-gejala pada umumnya seperti batuk, demam, tenggorokan sakit maupun sesak nafas. Gejala ini jika muncul di lingkungan umum akan mendorong stigma dari beberapa masyarakat yang ada di sekitarnya. Bahkan saat seseorang mengalami gejala yang serupa dengan Covid, mereka tidak memeriksakannya ke dokter karena menganggap hanya flu biasa.

Stigma sosial ialah anggapan negatif yang berasal dari diri individu atas respons kepada suatu individu atau kelompok tertentu yang terjadi di masyarakat. Stigma ini pada kondisi pandemi sering muncul sebagai tindakan pencegahan penularan virus yang lebih lanjut atau karena kecemasan masyarakat karena minimnya informasi mengenai viru baru ini. Stigma dipahami sebagai kontruksi sosial di mana tanda membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk mengidentifikasi dan mendevaluasi mereka (Arboleda-Florez, 2002). Tentunya stigma ini tidak bagus diterapkan di tengah kondisi krisis. Bukan menurunkan kasus tetapi justru memperburuk keadaan.

Seperti yang terjadi, stigma ini muncul saat masyarakat memberikan label keadaan seseorang dengan salah satu gejala Covid sebagai seseorang yang positif Covid. Beberapa masyarakat juga mendikriminasi atau diperlakukan berbeda terhadap gejala penyakit tertentu. Hal ini bisa terjadi karena kecemasan masyarakat akan virus baru yang belum ditemukan vaksinnya. Jika terus menerus terjadi stigma sosial di tengah pandemi tentunya mendorong seseorang menyembunyikan penyakitnya guna terhindar dari diskriminasi tersebut.

Bahkan beberapa kasus pasien yang meninggal saja jenazahnya di tolak masyarakat untuk di makamkan di sekitar tempat tinggal masyarakat. Kepedulian masyarakat menjadi rendah karena pandangan negatif ini. Pengetahuan yang minim akan informasi positif yang di dapatkan mendorong munculnya stigma ini. Stigma juga berawal dari kurangnya keseimbangan menerima informasi positif dan negatif. Mulai dari penolakan jenazah, kebohongan, maupun penolakan dari masyarakat.

Orang yang di stigma belum tentu memiliki penyakit tersebut, tetapi masih banyak orang yang berperilaku mendiskriminasi yang dapat memunculkan stigma negatif. Stigma ini dapat mendorong dampak negatif bagi individu, keluarga, teman maupun orang-orang disekitarnya. Hal ini terjadi karena minimnya informasi mengenai Covid, dan mendorong rasa takut dari sebagian orang karena rasa takut yang berlebihan hingga berpikir negatif terhadap orang lain. Kecemasan yang timbul tidak dibarengi dengan informasi dapat mendorong tindakan stigma.

Tindakan sosial ini akan mendorong peningkatan jumlah virus yang tersebar secara cepat karena tidak diketahui orang yang terjangkit. Masyarakat menjadi takut untuk memeriksakan diri ke petugas kesehatan karena stigma tersebut. Masyarakat merupakan komponen dari sistem sosial yang saling berhubungan dengan anggota lain. Interaksi sosial menjadi terhalang karena pandangan negatif ini. Interaksi sebagai pemersatu individu dengan individu maupun kelompok lain tidak diterapkan masyarakat sebagai upaya integrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline