Tak bisa dipungkiri bangsa manusia memiliki narasi panjang yang sangat melekat dengan pengetahuan. Pertualangan untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan terjadi sejak manusia hadir dan perlahan memadati bentangan daratan bumi.
Perjalanan pengetahuan diyakini sangat menentukan ke mana arah gerak perabadan manusia akan dibawa. Sehingga tidak sedikit juga dari meraka yang menghabiskan masa hidupnya untuk tetap konsisten berkecimpung dalam dunia pengetahuan dengan warna yang berbeda.
Hingga derasnya arus informasi dan teknologi seperti sekarang ini, tak terlepas dari hasil buah lompatan-lompatan pengetahuan manusia yang senantiasa melakukan perubahan-perubahan guna memudahkan kerja-kerja praktis manusia.
Karena derasnya arus tersebut tidak serta merta hanya memberikan peluang-peluang positif, tetapi juga memberikan peluang untuk hal-hal yang tidak positif dan malah dapat membahayakan tatanan sosial manusia.
Seorang novelis ternama Dan Brown dalam bukunya "Origin" menjelaskan bahwa seiring lajunya kemajuan mode informasi dan teknologi, maka ke depannya akan ada spesies baru yang tidak lagi sama dan akan menghilangkan spesies manusia.
Rupanya spesies baru ini merupakan spesies manusia yang hidup berdampingan atau tidak bisa lepas dari teknologi. Ini dianggap sebagai penemuan terbesar yang ingin di jelaskan dalam sebuah pertemuan langsung dan lewat kanal media sosial.
Pesan ini ingin menjelaskan bahwa posisi umat manusia mulai memasuki fase ketergantungan akan kemajuan teknologi yang notabene dibuat oleh manusia pula. Pada akhirnya, pola hidup umat manusia ke depannya tidak lagi bisa dikatakan sama seperti sebelum hadirnya teknologi.
Kemajuan teknologi yang bagian kecilnya ditandai hadirnya kanal-kanal media sosial, maka akan memberikan jalan lebar bagi setiap penggunanya untuk bisa selalu membuat dan mengakses informasi dalam bentuk apapun yang tersebar luas dalam waktu yang cukup singkat.
Dari sinilah peluang hadirnya misinformsi dan disinformasi yang menjadi konsumsi publik setiap harinya. Fenomena ini terus meningkat sehingga memberi kesan sulitnya untuk memverifikasi banyaknya informasi yang memadati ruang benak kita. Inilah yang belakangan disebut Era Post-Truth.
Post-Truth atau Pasca-kebenaran ialah fenomena semakin tipisnya ruang antara kebenaran dan kebohongan suatu informasi. Informasi tidak lagi serta merta diyakini melalui fakta-fakta objektif, melainkan pada emosi dan kepercayaan sendiri.
Malah kebenaran sebuah informasi dapat dilihat dari seberapa sering pengulangan-pengulangan informasi terebut beredar dan didapati, sehingga dikonsumsi oleh publik menjadi sebuah kepercayaan tanpa perlu melewati proses-proses verifikasi.