Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Bosku Baik karena Mengajariku Menjadi Bos Juga

Diperbarui: 20 Juli 2021   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah ilustrasi/dokpri

Bicara soal hubungan antara bos (pimpinan atau atasan) dengan anak buah (bawahan atau karyawan) saya jadi insecure sendiri, pasalnya sejak dua puluh (20) tahun yang lalu saya sudah tidak pernah merasakan apa dan bagaimana yang namanya perintah atau pendelegasian wewenang dari bos ke saya sebagai bawahannya. 

Selama dua puluhan tahun lebih hingga sekarang, saya hidup tidak di bawah perintah (under pressure) seorang bos melainkan menjadi owner usaha kecil di rumah yang oleh sebagian kalangan disebut PT. Mbelgedez jiahahaha. 

Saya ingin bercerita kembali saat masih berkesempatan bekerja ikut perusahaan orang, bukan perusahaan bapak apalagi perusahaan sendiri. 

Meski saya sempat bekerja di perusahaan tapi jujur saja soal debut karir terbilang kurang gemilang alias madesu (masa depan suram he..he..he..). 

Saya sempat bekerja di beberapa perusahaan di Surabaya, Jakarta dan Kalimantan tapi tidak bertahan lama. Dan yang paling mengesankan ketika dua kali berkesempatan bekerja di Kuala Kurun dan Sampit (Sei Babi) Kalimantan Tengah. 

Ketika berada di Sei Babi Sampit, saya bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) dan waktu di Kuala Kurun saya bekerja pada proyek World Bank untuk program pendampingan petani karet. 

Bekerja di Kalimantan apalagi bila ditempatkan di lapangan (base camp) tentu mendapatkan tantangan tersendiri. Selain jauh dari hingar-bingarnya keramaian kota juga yang namanya akses jalan pada masa itu masih sulit. 

Sebagai contoh, ketika saya dan beberapa rekan ditempatkan di Dusun Manen Paduran, Bawan-Kuala Kurun (Kalteng), untuk bisa keluar dari dusun (desa) saja kami harus berjuang melawan sungai yang panjang sekaligus dalam. 

Sebab kalau melalui jalan darat harus menempuh jalan melalui hutan belantara, memutar lagi dan jauh sekali jaraknya. Satu-satunya jalan ya harus melalui sungai dengan menaiki perahu klotok, jukung dan speed boat

Naik perahu klotok atau jukung mungkin tarifnya masih cukup terjangkau. Kalau sering melakukan program pendampingan dan penyuluhan keluar desa tidak terlalu berat diongkos. 

Lain halnya bila naik speed boat, meski relatif lebih nyaman dan aman sayangnya tarif atau ongkos transportasinya jauh lebih mahal dan bila sering melakukan program penyuluhan keluar desa akan menjadi kendala tersendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline