"Rambutmu wis kethok dowo pah, gak dipotong tha" (Rambutmu sudah kelihatan panjang pah, apa nggak dipangkas) tanya istriku sambil sesekali mengelus rambutku yang mulai memanjang, bergelombang dan kini dominan warna putihnya. Maklum sudah tuwir (tua) jiahahaha.
Biasanya untuk urusan merapikan rambut, jarang saya merepotkan istri. Ada langganan barber shop murmer yang berada tak jauh dari rumah kami. Hanya Rp. 5000,- ongkosnya. Itupun sudah full WiFi, full music, full kipas angin dan tempat yang nyaman.
Tak heran bila tempat pangkas rambut ini tak pernah sepi pengunjung. Saya suka malas kalau datang ke sana karena harus ngantre cukup lama.
Di masa masih merebaknya pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kamipun mengikuti anjuran pemerintah tentang penerapan disiplin ketat prokes 5 M.
Dua poin terakhir yakni mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan massa (social distancing) benar-benar kami indahkan kecuali bila ada keperluan yang sangat urgent baru kami beranikan diri untuk keluar rumah.
Sebelum acara potong rambut dilakukan sang istri, saya keramas dulu, ya kayak di salon aja agar rambut menjadi bersih, lembut dan mudah dirapikan.
Kalau biasanya saya pangkas rambutnya di tempat khusus dan lengkap dengan beragam fasilitas. Kali ini pangkasnya tanpa fasilitas alias garingan.
Hanya belaian tangan istri dan semriwingnya angin lalu karena potong rambutnya dilakukan di bawah pohon rindang atau disingkat DPR.
Yap, pohon sawo yang cukup rindang yang tumbuh di halaman rumah kami menjadi saksi cinta kita berdua, eits..maksud saya, menjadi saksi acara pangkas rambut saya he..he..he.. .
Guntingnya juga bukan gunting khusus rambut, malahan gunting yang biasa digunakan untuk motong kain di rumah.
Namanya juga yang motong istri sendiri dan nggak profesional pasti agak kaku. Saya yang sering mengingatkan istri agar motong rambutnya berhati-hati supaya tidak pitak (Jawa = petal) malah sering kena cethot (cubit).