Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Mendeteksi Polutan Sungai dan Limbah Nuklir dengan Eceng Gondok

Diperbarui: 8 Februari 2019   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eceng gondok tumbuh subur (dok.pri)

Sudah sejak lama manusia  menunjukkan kepeduliannya terhadap sungai karena kala itu air sungai menjadi kebutuhan utama bagi kehidupannya. 

Raja-raja Dulu Sudah Sangat Peduli dengan Ketersediaan Air untuk Rakyatnya
Coba kita lihat kembali perjuangan manusia-manusia hebat Indonesia dalam membuatkan kanal (sungai) sebagai sumber air untuk rakyatnya. Seperti Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara (Bogor, Jawa Barat) yang telah bersusah payah membuatkan dua buah sungai untuk pengairan lahan bercocok-tanam atau kebutuhan rakyat lainnya seperti yang tertulis pada Prasasti Tugu (1).

Gerak perjuangan dan kiprah Raja Purnawarman kemudian diteruskan oleh raja-raja di Jawa Timur. Beberapa candi (petirtaan) dan prasasti juga menceritakan bagaimana pemimpin rakyat kala itu benar-benar memperjuangkan kebutuhan dasar akan air, antara lain perjuangan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan (Kediri) dalam membebaskan rakyat Kamalagyan dari pajak. 

Oleh Airlangga, Kamalagyan dijadikan tanah perdikan, Airlangga juga membangun pertambakan dan lahan pertanian untuk rakyatnya. Kamalagyan kini berubah nama (mengalami morfologi kata menjadi kalagyan) dan akhirnya menjadi nama Desa Klagen, Tropodo-Krian-Sidoarjo seperti sekarang ini. Kisah Prabu Airlangga itu seperti tertulis dalam batu Prasasti Kamalagyan yang ditemukan di Desa Klagen.

Perjuangan Prabu Airlangga tak berhenti sampai di situ (seperti yang tertuang dalam Prasasti Kamalagyan) melainkan terus dikembangkan sampai ke kawasan Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur. Di daerah itu beliau membangun sebuah candi yang lebih mirip gerbang masuk sebuah kawasan yang kemudian dikenal sebagai Situs (candi) Jedong. 

Nah di dalam kompleks Situs Jedong, pengunjung bisa menyaksikan bangunan yang dulunya merupakan sumber air dan airnya dialirkan melalui semacam saluran (sungai kecil / got) yang airnya bisa dimanfaatkan warga sekitarnya hingga saat ini. 

Dan masih banyak lagi raja-raja zaman dulu Yang sangat peduli pada kebutuhan air untuk rakyatnya seperti yang bisa kita saksikan pada Petirtaan Jalatunda (Seloliman, Mojokerto) dan Candi Sumber Tetek (Gempol, Pasuruan)(2)(3).

Pemimpin-pemimpin (raja) zaman dulu memang bukan hanya sakti mandraguna secara ilmu kanuragan (bela diri, red) namun juga arif bijaksana. Mereka benar-benar berjuang untuk rakyatnya.

Setelah diangkat menjadi penguasa tahta kerajaan yang dipikirkan bukan bagaimana memperkokoh kekuasaannya melainkan pertama kali bagaimana menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya yang dalam hal ini sumber air untuk kehidupan sehari-hari. 

Bagaimana Menilai Kualitas Air Sungai?
Sungai atau sumber air pada zaman dulu dengan sekarang kondisinya sudah pasti sangat berbeda, meskipun masih ada sungai atau sumber air yang airnya bisa langsung diminum seperti sungai-sungai atau sumber air di daerah pegunungan.

Sungai zaman sekarang terutama yang ada di wilayah perkotaan kondisi airnya kotor meski belum tentu tercemar limbah (sampah) yang dianggap berbahaya (beracun). Orang awam seperti kita bisa dengan mudah mengenali (secara fisik) apakah sebuah sungai sudah tercemar antara lain dengan mengamati warna (kondisi) airnya seperti keruh atau berwarna putih atau warna lainnya sehingga tidak jernih lagi, berbusa, menghasilkan bau tak sedap, banyak terlihat sampah di permukaan air sungai tadi.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline