Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lahan Kering, Antara Kiat Petani dan Ajang Bermain Anak-anak

Diperbarui: 27 Oktober 2018   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lahan kering yang akan ditanami (dok.pri)

Setiap memasuki musim kemarau (panjang) hampir bisa dipastikan sebagian wilayah di tanah air mengalami kekeringan. Belum lama ini juga sempat diberitakan oleh sebuah TV swasta kalau dampak kemarau panjang menyebabkan warga sebuah desa di Jawa Tengah harus antri mengambil air di sungai yang sudah kering. 

Warga desa berinisiatif membuat kubangan yang digalinya dari sungai yang airnya menyusut akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Setelah dibuat lubang yang tidak terlampau dalam kemudian keluarlah air dari lubang tadi. Selanjutnya warga memberinya bebatuan (andesit) sebesar kepalan tangan orang dewasa agar airnya lebih jernih. Kata warga desa tadi, bebatuan tadi berfungsi sebagai penyaring atau filter.

Warga desa harus antri satu persatu hanya untuk mendapatkan setimba atau dua timba air yang masih bisa keluar dari dalam lubang yang digali dari dalam sungai kering tadi. Padahal jarak rumah-rumah warga tadi dari sungai kering itu cukup jauh.

Meninggikan lahan agar tidak terendam banjir (dok.pri)

Bencana kekeringan juga melanda sebagian wilayah di Jawa Timur. Salah satu desa di Kecamatan Driyorejo, Gresik juga terkena dampak kekeringan akibat kemarau panjang. Untungnya sebagian kecil lahan para petani yang terletak di pinggir kompleks perumahan warga Driyorejo tadi masih bisa mengandalkan air irigasi dari buangan selokan warga hingga panen tiba. Namun sebagian besar lahan mereka masih dibiarkan kosong meski sudah dilakukan pengolahan (didongkeli dengan linggis) karena harus menunggu hujan turun.

Tipe lahan para petani kecil (peasant) di pinggiran Kota Gresik itu tergolong sawah tadah hujan. Mereka baru bercocok tanam setelah lahan milik desa yang mereka olah tadi diguyur air hujan hingga gembur.

Mbah Gono (68 tahun), salah satu petani desa yang saya temui pagi tadi (27/10/2018) harus bekerja keras mendongkel lahannya dengan linggis agar bisa ditanami.

"Nggih nenggo jawah mas (ya masih harus menunggu hujan turun mas, red)" sahut Mbah Gono ketika saya tanya kapan tanam mulai dilakukan. 

Pengolahan lahan dengan cara mendongkeli bongkahan-bongkahan tanah merupakan kiat sederhana dan paling murah yang bisa dilakukan petani desa mengingat struktur tanah menjadi keras akibat kekeringan. 

Mengolah tanah sawah dengan cara membajak, sepintas merupakan cara yang dianggap konvensional namun para petani kecil itu tetap saja mengeluarkan bajet yang tak sedikit untuk tukang mbrujul (bajak) beserta sapinya. Sementara pengolahan lahan secara mekanis yakni dengan menggunakan mesin traktor atau hand traktor biayanya masih jauh lebih mahal ketimbang sistem bajak yang digerakkan sapi. Pertimbangan lainnya karena lahan para petani itu memang tidak begitu luas sehingga sayang (berlebihan) kalau harus menggunakan mesin pengolah tanah.

Mau tak mau meski di usianya yang sudah tidak muda lagi itu Mbah Gono harus rela mengerahkan segenap tenaganya untuk mendongkeli tanah sawahnya. Sebagian lahan Mbah Gono setiap musim hujan tiba nyaris tenggelam oleh banjir entah dari mana datangnya, menurutnya letak lahannya lebih rendah sehingga mudah tergenang oleh banjir akibat air hujan. Itu sebabnya mumpung masih berada di musim kemarau, Mbah Gono mengantisipasi genangan air hujan dengan meninggikan lahan tanamnya. 

"Kok didamel ngeten niki Mbah (kok dibuat seperti ini Mbah, red)" tanyaku sambil menunjuk ke arah gundukan tanah yang disusun lebih tinggi dari lahan sekitarnya setelah didongkeli dengan linggis oleh Mbah Gono. "Ben mboten kelem tuyo dik (supaya tidak tenggelam oleh air hujan dik, red)" timpalnya sambil mengusap keringat yang mengucur deras membasahi badannya yang masih gempal itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline