Sepeninggal Sunan Giri atau yang bergelar Prabu Satmata (Jawa = Satmoto), raja-raja pengganti yang memimpin Giri Kedaton rata-rata tidak secakap Sunan Giri.
Setelah Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin) wafat digantikan oleh putranya yaitu Sunan Dalem atau yang punya nama lain Maulana Zainal Abidin.
Sunan Dalem dan Sunan Sedomargi
Dalam sejarah disebutkan kalau Sunan Dalem ini sempat hijrah ke kawasan Desa Gumeno, Manyar-Gresik karena ada serangan dari Kerajaan Sengguruh (Pasuruan).
Di Gumeno ini Sunan Dalem meninggalkan warisan berupa Masjid Jamik Gumeno dan tradisi pembuatan kolak ayam yang diselenggarakan setiap malam 23 Ramadan atau yang dikenal dengan istilah Sanggringan.
Setelah keadaan normal, Sunan Dalem kembali memerintah Giri Kedaton sampai akhirnya wafat dan jasadnya dikebumikan di kompleks pekuburan Sunan Giri.
Sebagai penerus Giri Kedaton selanjutnya diangkatlah putra Sunan Dalem yang bernama Sunan Sedo Margi. Sedo Margi atau Sedo ing Margi berarti meninggal di jalan, beliau meninggal ketika melaksanakan misi dakwah Islam rombongan Kesultanan Demak di daerah Panarukan (Situbondo).
Kisah Sunan Prapen dan Arsitektur Cungkupnya
Masa kepemimpinan Sunan Sedo Margi ini terbilang cukup singkat, pusaranya berada di kompleks makam Sunan Giri. Beliau akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Sunan Prapen atau yang punya nama lain Maulana Fatichal.
Kabarnya, dibawah kepemimpinan Sunan Prapen ini Giri Kedaton mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sunan Prapen juga sangat berpengaruh dan disegani oleh raja-raja lain. Para santrinya tersebar di nusantara dan menjadi penyebar Islam di daerahnya masing-masing.
Konon disetiap pelantikan raja-raja Islam baru di tanah air kala itu harus meminta restu dan pengesahan Sunan Prapen.