Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Pos Ronda Leran Menjadi Saksi Bisu Kehangatan Keluarga Kami

Diperbarui: 14 Maret 2018   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pos rondapun momen kehangatan keluarga bisa terjadi (dok.pri)

Tak seperti hari-hari sebelumnya, entah mengapa pagi itu terasa lain, suasananya tampak gayeng (menyenangkan, red). Suasana yang samasekali berbeda, tak diwarnai bengkerengan (perang mulut, red) dengan istri tersayang yang selama ini dengan tulus menerima saya apa adanya

Dengan puteri semata wayang kami yang kini mulai beranjak dewasa, dengan seorang keponakan perempuan yang sudah kami anggap sebagai anak sendiri dan sudah puluhan tahun jauh dari ayah-bundanya. Suasana pagi itu benar-benar penuh keteduhan, di mana kami berempat bisa rehat sejenak dari persoalan-persoalan apa saja yang selama ini menghimpit keseharian kami.

Alhamdulillah, dua puluh tahun lebih kami menjalani kehidupan berumah tangga dalam suka dan duka. Meski keadaan rumah tangga kami masih jauh dari konsep ideal berumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah namun setidaknya kehidupan berumah tangga kami masih tergolong wajar-wajar saja.

Plesir meriah merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kembali momen kehangatan bersama keluarga tercinta yang mulai sirna akibat rutinitas keseharian yang membosankan. Bagi kami, plesir kan tidak harus mendatangi tempat wisata atau mal serta  tempat-tempat tertentu yang membutuhkan biaya banyak. Mengunjungi keponakan yang baru pindah rumah itu ternyata menjadi salah satu cara jitu untuk memupuk kembali kehangatan bersama anggota keluarga.

Rumah keponakan yang kami kunjungi itu ukurannya tak terlalu besar namun terlihat bersih dan nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Sebuah rumah yang cocok bagi mereka yang baru membina hubungan berumah tangga. Maklum keponakan kami itu memang baru menikah. Mereka berdua sangat mandiri dan kini berstatus sebagai karyawan pada perusahaan makanan yang ada di Kota Gresik.

Kalau memperhatikan keponakan yang baru berumah tangga itu kami jadi ngiri sebab keadaan mereka jauh lebih baik ketimbang kondisi rumah tangga kami dua puluh tahun silam. Kala itu kami berdua sama-sama tidak bekerja. Saya baru keluar dari perusahaan karena tidak betah dan istri juga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya karena perusahaan tempatnya bekerja jatuh bangkrut terkena dampak krisis moneter. Kami sempat nebeng di rumah mertua dan kakak. Untuk menyambung hidup saja tak jarang kami menjual pakaian kami atau perhiasan istri.

Hari demi hari kami lalui hingga kami menjadi seperti sekarang ini. Kesabaran kami dan kesetiaan istri tercinta menjadikan bahtera rumah tangga kami tetap kokoh dan bertahan dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Sampai pada akhirnya lahir puteri semata wayang kami yang kini mulai beranjak dewasa. Kami juga mendapat amanah untuk merawat seorang keponakan perempuan yang kedua orang tuanya kurang harmonis.

Di depan rumahnya yang mungil nan indah itu keponakan dan suaminya sedang menanti kedatangan kami berempat. Wajah mereka tampak berseri-seri, merah merona memancarkan keceriaan saat menyambut kami. Mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya yang berlantai dua itu. Sementara di meja makan terlihat berbagai hidangan, salah satunya nasi krawu yang menjadi kuliner khas Kota Gresik.

Tanpa ba bi bu kami berenam langsung saja melahap berbagai hidangan yang sejak pagi tadi sengaja disiapkan untuk menjamu kunjungan kami. Suasana tampak begitu akrab dan sungguh menyenangkan. Sambil menikmati makanan yang dihidangkan, bak keluarga yang penuh kehangatan suami keponakan yang juga seorang staf inti pada perusahaan di Gresik itu bercerita banyak tentang Desa Leran, desa di mana kini keluarga muda itu berdomisili. 

Menurutnya, tidak jauh dari rumahnya berada terdapat pusara seorang pejuang Islam yang khabarnya sudah ada sebelum datangnya WaliSongo (Wali Sembilan, red) yang sangat terkenal itu. Pejuang Islam itu bernama Siti Fatimah Binti Maimun atau masyarakat Desa Leran menyebutnya Puteri Retno Suwari. Kami semua yang sedang asyik menikmati beraneka hidangan itu seolah larut dalam cerita panjang pejuang Islam yang meninggal di usia belia itu. 

Belum selesai menuntaskan ceritanya, suami keponakan mengajak kami keluar rumah sekaligus menunjukkan di mana posisi kompleks pusara Siti Fatimah Binti Maimun berada. Kami berjalan beriringan, tak jarang juga berpapasan dengan penduduk asli Desa Leran, Manyar -- Gresik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline