Masyarakat sekarang terutama kaum mudanya merasa nggak keren, nggak update kalau tidak mengikuti tren asing (dunia barat) yang sedang gencar-gencarnya melanda tanah air. Tren itu berupa banyak hal, salah satunya adalah budaya (seni tari/nyanyi) asing. Sebagian kaum muda kalau nggak nge-break dance, nge-hip hop, nge-gangnam style merasa bukan anak muda zaman now.
Merebaknya kesenian asing tadi tak pelak sedikit atau banyak akan berpengaruh pada perkembangan (kelestarian) kesenian asli (daerah) Indonesia tercinta ini.
Kalau anak mudanya saja pada menggandrungi kesenian asing lalu bagaimana dengan nasib kesenian daerahnya. Pasti kesenian (tari) daerah akan kurang mendapatkan perhatian dan lambat-laun bukan tidak mungkin akan lenyap dari Bumi Indonesia karena tidak mendapat tempat di hati masyarakatnya. Sebagai warga negara, melihat hal itu tentu saja saya atau kita semua akan merasa prihatin.
Pernah suatu ketika saat bermain-main ke kota buaya Surabaya, saya berkesempatan menyaksikan sekelompok remaja putri memainkan (berlatih) kesenian Tari Remo di pendopo Kampoeng Ilmu. Meski tak pandai memainkan tarian remo alias ngremo namun saya termasuk salah satu orang yang mengagumi kesenian daerah itu.
Melihat para remaja ngremo, hati saya menjadi senang sekaligus bangga. Pikir saya, ternyata masih ada sebagian anak muda yang menyukai kesenian tari tradisional yang khabarnya asli Jombang itu di tengah-tengah merebaknya tarian asing.
Para remaja putri itu tampaknya bukan hanya pintar memainkan tarian yang menceritakan seorang pangeran yang dengan gagah berani berjuang di medan perang namun juga merasa bangga dan percaya diri membawakan tarian remo yang merupakan kesenian tari khas daerah Jawa Timur itu.
Awalnya tarian remo tak bisa dipisahkan dari pergelaran kesenian drama ludruk. Pementasan ludruk tanpa remo sepertinya kurang afdol pada masa itu. Seiring perkembangan zaman, pergelaran ludruk tanpa didahului pementasan remo juga nggak masalah. Kini pementasan tarian remo dilakukan saat ada acara-acara penting seperti festival tari tradisional, acara 17 Agustusan, menyambut kedatangan pejabat daerah, negara atau bahkan tamu mancanegara. Dulu, tarian remo hanya dimainkan oleh kaum pria namun sekarangpun kaum wanita bisa memainkannya.
Setiap tarian daerah pasti memiliki ciri khas yang memungkinkan tarian tadi mudah dikenali oleh masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Begitu pula dengan tari remo. Busana, rias wajah, gerakan dan perlengkapan busana yang dikenakan oleh seorang penari remo sangatlah khas.
Penari remo menari dengan memain-mainkan sampur (selendang, red), sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah menengok ke kanan dan ke kiri, diikuti dengan hentakan kaki ke lantai. Tarian remo terlihat lebih atraktif dan rancak dengan diiringi oleh gendang dan seperangkat gamelan. Pada pergelangan kaki (kanan) penarinya dipasang gongseng (kelintingan, red) sehingga menimbulkan bunyi cring..cring..cring.. saat kaki dihentakkan ke lantai.
Tarian remo mengingatkan saya pada seni pentas drama ludruk. Mengingat acara TVRI Jatim belum beragam seperti sekarang ini dan belum ada kompetitor TV swasta sehingga acara ludruk sering muncul di sana.
Selain TVRI Jatim, dulu ludruk juga sering disiarkan oleh RRI Surabaya. Masa kecil saya dan keluarga juga tak lepas dari hiburan ludruk yang disiarkan oleh RRI Surabaya. Siang hari biasanya menjadi saat yang tepat untuk tune indi RRI Surabaya (mungkin masih AM kali ya) guna mendengarkan lakon-lakon ludruk. Meski baterai radio semakin tekor hingga berbunyi krek.. kreek.. kreekkk.. namun, acara dengar ludruk bersama saudara atau tetangga harus tetap berjalan.