Kilas Balik Sejarah Masa Silam
Air menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Manusia mungkin bisa bertahan hidup meski tidak makan untuk sementara waktu namun untuk bertahan hidup dengan tidak minum jelas tidak mungkin. Tak heran bila manusia jaman dulu seperti Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara (Bogor, Jawa Barat) bersusah payah membuatkan dua buah sungai (kanal) untuk pengairan lahan bercocok-tanam atau kebutuhan rakyat lainnya seperti yang tertulis pada Prasasti Tugu.
Gerak perjuangan dan kiprah Raja Purnawarman kemudian diteruskan oleh raja-raja di Jawa Timur. Beberapa candi (petirtaan) dan prasasti juga menceritakan bagaimana pemimpin rakyat kala itu benar-benar memperjuangkan kebutuhan dasar akan air, antara lain perjuangan Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan (Kediri) dalam membebaskan rakyat Kalagyan dari pajak.
Oleh Airlangga, Kalagyan dijadikan wilayahperdikan, Airlangga juga membangun pertambakan dan lahan pertanian untuk rakyatnya. Kalagyan kini berubah nama menjadi Desa Klagen, Tropodo-Krian-Sidoarjo. Kisah Prabu Airlangga itu seperti tertulis dalam batu Prasasti Kalagyan yang ditemukan di Desa Klagen.
Sebagai raja besar saat itu, Airlangga juga membangun petirtaan atau Candi Sumber Tetek yang ada di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya berada di Desa Belahan, Gempol - Pasuruan - Jawa Timur. Petirtaan yang awalnya dipersembahkan untuk sang permaisuri tercinta itu hingga saat ini masih tetap terpelihara dengan baik.
Airnya yang jernih dan bebas polutan terus mengalir dan dimanfaatkan oleh warga desa untuk minum dan keperluan lainnya. Ketika Airlangga masih kecil, ayahandanya yakni Raja Udayana dari Bali menghadiahi beliau dengan sebuah petirtaan bernama Jalatunda atau masyarakat sekitar juga menyebutnya dengan istilah Candi Jolotundo. Hingga saat ini sumber air di Petirtaan Jolotundo diyakini oleh sebagian orang berkhasiat untuk pengobatan.
Roda waktu terus bergulir, Raja-raja Majapahit di Trowulan, Mojokerto - Jawa Timur juga menghadiahi para permaisurinya dengan sebuah petirtaan yang populer dengan nama Candi Tikus. Sayangnya pancuran air di petirtaan itu sudah lama tidak berfungsi mungkin akibat lingkungan hutan di sekitarnya yang sudah rusak. Berbeda dengan Petirtaan Sumber Tetek dan Jolotundo yang masih berfungsi hingga sekarang. Air yang menggenangi Candi Tikus semata-mata berasal dari turunnya air hujan.
Raja-raja Majapahit juga berhasil menciptakan Kolam Segaran, yaitu kolam yang sangat luas hingga menyerupai segara (baca segoro) atau lautan. Ada beberapa versi pendapat mengenai keberadaan Kolam Segaran ini. Ada yang mengatakan kalau kolam ini menjadi tempat menyimpan semua perlengkapan makan dan minum dari emas atau perak untuk menghormati para tetamu Kerajaan Majapahit. Pendapat lain menyebutkan kalau kolam berukuran sangat besar itu fungsinya sebagai pendingin (sekarang AC kali ya) agar suasana Kota Majapahit menjadi sejuk. Air Kolam Segaran berasal dari sumber pegunungan, airnya tak pernah habis meski musim kemarau sekalipun. Sampai sekarang warga sekitar memanfaatkan air Kolam Segaran untuk pengairan sawah dan arena memancing ikan.
Menjaga Kemurnian Air Ranu Kumbolo
Dulu pernah ada seorang raja dari Kediri yang harus berjuang keras melawan ganasnya Gunung Semeru. Sang raja melakukan penyusuran mencari air suci seperti tertulis dalam Prasasti Ranu Kumbolo. Di tepian Danau Ranu Kumbolo kita jumpai sebongkah batu prasasti berangka tahun 1182 yang mengisahkan perjalanan Raja Kameswara dalam mencari air suci itu (tirtayathra).
Sampai sekarang oleh masyarakat Suku Tengger dan mungkin juga umat beragama Hindu lainnya, Gunung Bromo dan Semeru tak terkecuali air Ranu Kumbolo masih dianggap suci dan keramat. Beraneka sesaji sebagai bentuk persembahan kepada Hyang Widhi selalu terlihat berserakan di area Prasasti Ranu Kumbolo.
Sebagai danau favorit para pendaki Gunung Semeru, air dan alam Ranu Kumbolo sementara ini masih relatif terpelihara kelestariannya, tidak seperti Ranu Regulo dan Ranu Pani(e). Seperti kita ketahui bersama, sebuah tempat yang sering didatangi orang, biasanya nih resiko untuk mengalami kerusakan juga semakin besar. Seperti yang terjadi pada Ranu Regulo dan Ranu Pane seharusnya tidak terulang kembali dan menimpa Ranu Kumbolo.