Tak seperti hari-hari sebelumnya, suasana dingin di musim hujan biasanya menjadikan saya enggan keluar rumah di pagi hari. Entah mengapa Minggu pagi kemarin (29/01/2017) saya terdorong untuk keluar rumah. Semalam hujan turun dengan derasnya, paginya udara menjadi bersih, segar dan enak untuk dihirup. Suasana redup masih mewarnai pagi itu. Dengan memakai sandal jepit refleksi, saya mencoba mengisi pagi itu dengan berjalan-jalan ke sawah. Biasanya nih tempat bermain yang paling saya sukai adalah areal persawahan lengkap dengan aktivitas petaninya.
Selain karena dekat sekali dengan tempat tinggal kami, hijaunya beraneka jenis tanaman di sawah menjadi tonikum yang ampuh untuk menyegarkan mata dan pikiran. Perlahan-lahan matahari mulai menampakkan sinarnya yang menyilaukan. Suasana redup mulai berubah menjadi terang.
Belum puas dengan hanya memandangi hijaunya tanaman di sawah, saya putuskan untuk masuk ke area persawahan. Seorang petani desa yang sering berpapasan dengan saya saat keluar - masuk kompleks perumahan sudah terlihat sibuk di sana. Beliau adalah Pak Sokran, salah seorang petani Desa Driyorejo, Gresik – Jawa Timur.
“Tandur nopo niki pak (sedang tanam apa ini pak, red)” tanyaku untuk mencairkan suasana pagi yang mulai terang itu. Tanpa memandang ke arah saya Pak Sokran menjawab “Iki dik kunir (ini dik kunir / kunyit, red). Rupanya Pak Sokran terlihat sedang sibuk membersihkan rimpang kunir untuk ditanam di lahannya.
Ia memisahkan / memotong (split) rimpang kunir pilihan yang berukuran besar menjadi dua atau tiga bagian sesuai dengan jumlah mata tunasnya. Bagian rimpang yang terpotong diolesi fungisida (dithane M45 / benlate) agar tidak membusuk akibat aktivitas jamur selama berada dalam lubang tanam. Kadang kalau kesulitan membeli fungisida ia mengakalinya dengan menggunakan arang batok kelapa untuk dioleskan ke bagian rimpang yang terpotong.
Awal musim hujan merupakan saat yang tepat untuk menanam berbagai jenis tanaman, tak terkecuali kunir karena air tersedia dalam jumlah banyak. Lahan persawahan milik Pak Sokran mengandalkan air hujan namun di musim kemarau air selokan warga perumahan yang ditampung di kolam penampungan dekat lahannya ia manfaatkan untuk membasahi lahan pertaniannya.
Kunir sering dimanfaatkan orang untuk pelengkap bumbu masakan, selain itu juga untuk jamu (obat-obatan). Sebagai penikmat jamu gendongan (tradisional) Anda pasti tahu kunir. Bila dipadukan dengan Asam Jawa (Tamarindus indica) maka jadilah minuman kunir - asem yang bukan saja menyegarkan tapi juga menyehatkan.
Teknik bercocok tanam kunir juga cukup mudah. Rimpang dibibitkan terlebih dulu, setelah muncul daun yang panjangnya 2 - 3 sentimeter baru dipindahkan ke lahan. Cara praktis lainnya yakni yang diterapkan Pak Sokran ialah dengan memasukkan rimpang kunir yang sudah diseleksi tadi ke dalam lubang tanam lalu ditimbun menggunakan tanah tipis-tipis atau tidak perlu ditimbun. Pak Sokran biasanya menanam kunir di sela-sela tanaman utamanya, seperti jagung dan lombok. Sistem yang diterapkan Pak Sokran itu dikenal dengan istilah tumpang sari.
“Nek njagakno kasile jagung thok yo abot dik (kalau mengharapkan hasil panen jagung saja ya berat dik, red)” terang Pak Sokran sambil memastikan apakah jumlah rimpang kunir yang diseleksi sudah siap untuk ditanam. Kini sebagian petani di Indonesia mulai menerapkan sistem tumpang sari selain untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya, sistem itu terbukti efektif untuk meningkatkan pendapatan petani.
“Kasile panen kunir iki langsung tak dol nang Pasar Krian (hasil panen kunir ini langsung saya jual ke Pasar Krian, red)” cetusnya bersemangat. Soal pemasaran juga mudah, Pak Sokran tak jarang menjual langsung ke Pasar Krian, Sidoarjo. Kadang juga ada pengepul yang datang sendiri dengan membawa truk untuk kemudian di pasarkan lagi ke luar Pulau Jawa bahkan kabarnya juga diekspor ke luar negeri untuk obat dan campuran bahan kosmetika.
Kunir bisa dengan mudah dibudidayakan dalam polibag atau pot, pekarangan rumah, lahan sempit maupun di areal yang luas. Meski tidak menyebutkan berapa kuintal hasil panen kunir dari sistem tumpang sari di lahannya yang tak begitu luas itu namun Pak Sokran merasa bersyukur dengan penghasilan yang diperolehnya. Di pasar tradisional harga jualnya berkisar antara 5 – 6 ribu rupiah per kilonya.