Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Anak-anak Meriahkan Sistem Fogging

Diperbarui: 14 Agustus 2016   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Anak-anak bergerombol siap ikutan fogging (dok.pri)"][/caption]

Musim hujan dan merebaknya wabah penyakit Demam Berdarah seolah sudah menjadi tradisi tahunan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita. Genangan-genangan (kubangan) yang terjadi akibat air hujan boleh jadi menjadi tempat yang sesuai bagi tumbuh-kembang Si Belang, nyamuk yang selama ini menjadi biang berkembangnya penyakit Demam Berdarah itu. Rumah kosong atau bekas pabrik tidak hanya menjadi sarang tikus tapi boleh jadi juga sebagai sarang nyamuk demam berdarah. Pada kasus wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) jumlah pasien terbesar biasanya berasal dari kalangan anak-anak, hal ini karena kelompok usia itu umumnya tidak memiliki imunitas (kekebalan) yang cukup kuat untuk menahan serangan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Kebiasaan yang berkembang di masyarakat kita, begitu terdengar kabar ada salah satu warga yang terserang DBD maka tak lama setelah itu dilakukan upaya pemberantasan nyamuk penyebab DBD dengan penyemprotan (pengasapan) yang biasa disebut fogging.

Fogging sementara ini masih dipandang sebagai cara yang paling populer dan efektif. Masyarakat awam mungkin tak banyak yang tahu bahan apa yang dimasukkan ke dalam mesin fogging sehingga menghasilkan asap (kabut) dengan bau yang khas itu. Mereka hanya tahu bahwa fogging merupakan tonikum yang ampuh untuk mengatasi meluasnya serangan wabah DBD. Dengan menerapkan upaya pemberantasan secara fogging itu, nyamuk-nyamuk Aedes diharapkan akan mati semua. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya nyamuk-nyamuk dewasa saja yang mati karena insektisida yang dimasukkan ke dalam alat fogging sementara jentik-jentik nyamuk yang biasanya hidup nyaman di kubangan air (jernih) tidak ikut mati dalam upaya pengasapan itu.

Boleh dikatakan fogging hanya efektif untuk sementara waktu karena ada kemungkinan jentik-jentik nyamuk Aedes yang tak tersentuh oleh asap racun serangga itu akan tumbuh dan berkembang menjadi nyamuk dewasa yang siap menyerang manusia. Akan tetapi tidak semua nyamuk Aedes dewasa akan mati selama proses pengasapan, nyamuk-nyamuk yang kebal dan bisa lolos dari upaya fogging itu akan semakin membahayakan bagi manusia di sekitarnya. Setelah dilakukan fogging biasanya bau insektisida itu masih kita rasakan untuk beberapa lama. Asap racun nyamuk yang menempel pada kain kelambu rumah, sprei kasur (bed cover), pakaian yang tergantung, buku-buku, alat-alat dapur dan lantai rumah kita sebenarnya tak bisa dianggap remeh. Efek residu bahan aktif yang berupa malation, sumithion, fenithrotion pada racun nyamuk Aedes dalam waktu yang lama diperkirakan akan menyebabkan berbagai penyakit pada tubuh manusia, beberapa diantaranya ialah : gangguan pada saluran pencernaan, menurunnya sistem kekebalan tubuh dan kerusakan pada paru-paru.

Anak-anak merupakan kelompok usia yang sangat rawan terhadap serangan penyakit DBD, meski demikian mereka sebenarnya turut andil meramaikan upaya pemberantasan nyamuk penyebab penyakit yang sangat berbahaya sekaligus mematikan bila terlambat penanganannya itu. Coba kita perhatikan, meski asap fogging itu sangat menyengat baunya bahkan sampai menyesakkan pernafasan bagi sebagian orang namun yang namanya anak-anak tetap saja nekad mengikuti petugas fogging melakukan penyemprotan dari rumah ke rumah. Apa karena suara mesin fogging yang menggelitik perhatian anak-anak atau mungkin sebagian anak-anak tadi merasa geram dan prihatin dengan DBD yang menyerang salah seorang teman seusianya sehingga mereka merasa perlu membalaskan sakit hati temannya yang sempat dirawat di rumah sakit gegara mengidap DBD itu.

Upaya pemberantasan nyamuk penyebab DBD dengan sistem fogging ternyata menuai kritik dari sebagian masyarakat kita, selain karena berbagai efek residu yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia fogging, juga kurang ramah lingkungan, pasalnya bahan aktif racun nyamuk itu tidak bisa diuraikan kembali oleh alam (non bio degradable). Meski demikian, sistem fogging hingga saat ini masih dianggap relevan dan tetap saja diterapkan. Setelah timbul korban biasanya masyarakat menjadi lebih sadar bahwa tindakan pencegahan itu lebih utama ketimbang mengobati. Cara yang umum dilakukan ialah dengan menerapkan program 4M. Langkah pertama dengan menguras bak mandi atau bejana-bejana lain berisi air yang memungkinkan jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti tumbuh di sana.

Kedua dengan menutup bak-bak penampungan atau tandon air agar nyamuk beserta jentik-jentiknya tidak berkembang di sana. Langkah selanjutnya dengan mengubur barang-barang bekas berupa kaleng atau perabotan tak terpakai yang memungkinkan air hujan bisa tertampung dalam wadah bekas itu. Serta secara dini dan jeli memantau meluasnya serangan wabah penyakit DBD agar segera bisa ditangani. Untuk menekan perkembangan jentik-jentik nyamuk bisa juga digunakan pasir abate yang dibungkus dengan kain kemudian dimasukkan ke dalam bak atau tandon air.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline