[caption id="attachment_359675" align="aligncenter" width="400" caption="Seperti ini penampakkan Blue Fire itu"][/caption]
Seperti rencana semula, sekitar pukul 01.00 dini hari tim kami harus memulai pendakian di Kawah Ijen. Petualangan kecil kali ini terbilang unik karena saya berkesempatan berkolaborasi dengan para mahasiswa yang notabene bukan hanya pintar di bangku kuliah melainkan juga “jago” mendaki gunung.
Ayu misalnya, mahasiswi semester 3 Fakultas Ekonomi Unmuh Gresik ini mengaku pernah beberapa kali menaklukan puncak Mahameru dan beberapa gunung lainnya di Jawa Timur. Rekannya yang lain, Indra pemuda ganteng ini lebih hebat lagi pengalamannya menaklukan beberapa gunung di Jawa Timur dan Tengah menjadikannya terlihat semakin percaya diri saat bergabung dengan tim kami.
Personil kami yang terakhir sekaligus yang paling mungil adalah Lely. Ia tak lain adalah keponakan saya sendiri. Sewaktu sekolah di SMK ia sudah aktif melakukan pendakian di Gunung Bromo maupun Ranu Kumbolo di Gunung Semeru.
[caption id="attachment_359677" align="aligncenter" width="400" caption="Anggota tim terdiri dari Indra, Ayu dan Lely"]
[/caption]
Meski tim kami beranggotakan kaum muda yang cukup berpengalaman dalam pendakian namun saya masih memandang perlu kehadiran seorang pemandu pendakian. Dia adalah Pak Misruani. Pria asal Madura ini sehari-harinya juga berprofesi sebagai penambang belerang di objek wisata alam Kawah Ijen, Bondowoso, Jawa Timur.
Sebelum kedatangan Pak Misruani, kami berempat sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk pendakian itu. Udara yang sangat dingin di kawasan Paltuding, Sempol-Bondowoso membuat istirahat kami kurang optimal. Sedikit-sedikit terbangun. Jaket dan kaus kaki tebal tak mampu meredam dinginnya suasana malam itu. Geligi sempat gemertak karena menggigil kedinginan.
Tanggal 17 Agustus 2014 jam 01.00 dini hari, petualangan jelajah Kawah Ijen segera kami mulai. Malam harinya Paltuding camp ground dipenuhi dengan tenda-tenda petualang lain. Dari keterangan yang saya peroleh umumnya para petualang itu juga ingin memanfaatkan momen peringatan 17 Agustus 2014 di puncak Gunung Ijen.
[caption id="attachment_359679" align="aligncenter" width="400" caption="Api biru terlihat dari sisi lain"]
[/caption]
Baru beberapa ratus meter kami mendaki, sontak saja perhatian kami tertuju pada anggota tim bernama Ayu. Badannya sedikit sempoyongan dan mukanya pucat. Tim segera menghentikan pendakian.
Kami menepi karena tak ingin menghalangi perjalanan pendaki lain dan para penambang belerang. Perlu diketahui bahwa dipagi yang gelap gulita itu, para penambang belerang sudah memulai aktivitasnya, termasuk Pak Misruani sang guide yang kami sewa.
Ayu mengeluh karena perutnya mulas. Di kanan-kiri jalur pendakian ada sebuah jalan kecil. Di situlah Ayu kami sarankan untuk “buang hajat”. Setelah badannya bugar kembali pendakian kami lanjutkan.
[caption id="attachment_359680" align="aligncenter" width="400" caption="Wisatawan dilarang menuruni Kawah Ijen"]
[/caption]
Untuk mencapai puncak Gunung Ijen, kami dan para pendaki lain harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Ada beberapa tempat yang bisa pendaki singgahi saat mendaki gunung ini diantaranya : base camp pondok bundar Kawah Idjen, PT. Candi Ngrimbi Unit I Belerang, Banyuwangi dan dudukan yang berupa kayu pohon di pinggir jalur pendakian.
Kondisi badan anggota tim yang prima dan kawan sesama pendaki yang jumlahnya mencapai ribuan menjadi penyemangat perjalanan kami. Tak terasa jam 02.00 pagi tim kami sudah mencapai puncak.
Saya dengan didampingi Pak Misruani memberanikan diri untuk turun ke kawah. Sementara anggota tim lainnya lebih memilih tetap di atas. Pak Misruani terbiasa berjalan menuju kawah karena sudah puluhan tahun ia menekuni profesi sebagai pengangkut belerang yang naik-turun kawah Gunung Ijen. Sebenarnya pihak pengelolah melarang keras para wisatawan untuk turun ke kawah karena sangat berbahaya.
[caption id="attachment_359681" align="aligncenter" width="400" caption="Rela mendaki malam hari demi menikmati pesona api biru (blue fire)"]
[/caption]
“Hati-hati Pak, kalau terjadi korban karena terjatuh ke dalam kawah maka penambangan ini akan ditutup, lalu kita cari nafkah dari mana?” ungkap Pak Misruani mengingatkan saya.
Para penambang belerang yang jumlahnya sekitar 200 orang itu memang punya kewajiban untuk mengingatkan para wisatawan Kawah Ijen. Selain bahaya akibat terjatuh, gas belerang yang sangat menyengat dan beracun bisa menyebabkan tewasnya pendaki.
Tapi saya tetap saja nekad turun ke kawah kira-kira 500 meter dari puncak karena termotivasi Untuk mengabadikan momen penting yang sejak awal kami impikan, yakni pesona “Blue Fire” (api biru) yang sudah mendunia itu.
[caption id="attachment_359683" align="aligncenter" width="500" caption="Mengibarkan Sang Merah Putih pada 17 Agustus 2014"]
[/caption]
Awalnya Pak Misruani memandu saya menuruni kawah, setelah dekat lokasi penambangan ia meninggalkan saya seorang diri. Ia melanjutkan pekerjaannya mengangkut puluhan kilo belerang menuju truk pengepul belerang di Paltuding.
Untung saja adabanyak pendaki lain yang bisa menjadi teman saya di lokasi penambangan belerang ini. Sambil sesekali mengabadikan blue fire Kawah Ijen yang juga ada di Negara Islandia itu, saya sempat melihat ada bangunan sederhana (camp) penambang di dekat kawah.
Beberapa penambang juga terlihat sedang menuangkan cairan belerang ke dalam cetakan-cetakan dengan bentuk beragam untuk kemudian dijadikan suvenir-suvenir cantik nan unik yang bisa dijual kepada para wisatawan.
Hembusan asap belerang menyebabkan sesak nafas dan mata terasa pedih sekali. Itu saya alami sendiri. Saya sempat panik dengan kejadian ini. Sesekali saya berlindung di camp penambang. Kadang juga dengan memalingkan muka ke bawah dan menutup hidung rapat-rapat.
Beberapa saat kemudian keadaan di lokasi penambangan normal kembali. Ketika asap panas belerang hilang ditiup angin maka pijar api biru itu terlihat, di saat itulah saya dan pendaki lain mengabadikan pesona pijarnya. Sebuah momen yang menjadi ikon objek wisata alam Kawah Ijen di Bondowoso, Jatim.