Lihat ke Halaman Asli

Mawan Sidarta S.P.

TERVERIFIKASI

Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Menguak Misteri Gua Jepang di Malang

Diperbarui: 4 April 2017   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1411370060663883847

[caption id="attachment_360835" align="aligncenter" width="500" caption="Inilah Gua Jepang di Gangsiran-Junrejo, Batu-Malang"][/caption]

Masih di kawasan Kecamatan Junrejo, Batu-Malang. Sekitar tiga kilometer dari lokasi air terjun Coban Putri saya temukan warisan Bangsa Jepang yang berupa gua. Masyarakat sekitarnya menyebut gua ini dengan nama “Gua Jepang”.

Kali ini perjalanan saya lebih lancar lagi. Beberapa pemuda desa dengan motor trailnya secara suka rela mengantar saya menuju lokasi Gua Jepang. Tak berbeda jauh dengan Coban Putri, Gua Jepang juga nampak sepi. Nyaris tak ada pengunjung selain saya.

[caption id="attachment_360836" align="aligncenter" width="400" caption="Pintu pagar Gua Jepang terlihat dari dalam gua"]

1411370255219164642

[/caption]

Di mulut gua terpasang pintu teralis besi. Tapi pintu itu masih bisa dibuka. Kata remaja yang menemani saya, gua ini memang tidak dibuka untuk wisatawan. “Belum ada orang yang sanggup menguak misteri gua ini lebih jauh lagi Pak” kata pemuda tadi.

Saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam gua. Pikir saya sayang kalau hanya melihat mulut guanya saja. Kira-kira 20 meter memasuki gua terdapat lubang yang mengarah ke kanan dan kiri. Flash kamera saya tak sanggup menerangi lorong gua yang konon panjangnya mencapai 5 kilometer itu.

Saya yang mencoba masuk seorang diri itu akhirnya mengurungkan niat untuk berjalan lebih dalam. Khawatir akan bau gas beracun atau bahaya lain yang mungkin muncul saat memasuki Gua Jepang ini.

[caption id="attachment_360838" align="aligncenter" width="400" caption="Gua Jepang terlihat dari kejauhan"]

1411370438483839636

[/caption]

Gua Jepang di Dusun Gangsiran, Junrejo-Batu sebenarnya memiliki potensi sebagai objek wisata menarik bila dikelolah dengan baik. Lingkungan sekitar gua sangat mendukung. Hawa yang sejuk, rimbunnya pepohonan hutan dan trekking yang lumayan tajam justru menambah greget saat mendatangi gua ini.

Tak banyak informasi yang saya dapatkan. Para pemuda tadi tak terlihat lagi entah pergi kemana. Mereka terlihat ketakutan saat saya mintai tolong untuk menemani masuk ke dalam gua. Menjelang sore saya meninggalkan Gua Jepang untuk kembali ke rumah Adik.

[caption id="attachment_360840" align="aligncenter" width="400" caption="Cerobong asap pabrik kulit di masa Jepang"]

14113705681724136904

[/caption]

Belum jauh saya meninggalkan gua, sekitar 3 kilometer dari Dusun Gangsiran, perjalanan saya hentikan. Perhatian saya kali ini tertuju pada sebuah bangunan tua mirip cerobong asap pabrik. Bangunan ini berada di lahan yang ditumbuhi semak belukar dan berdekatan dengan pekuburan warga.

Saya mencoba mencari tahu kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai keterangan. Suasana jalanan desa masih terlihat sepi. Mungkin masih dalam suasana lebaran sehingga warga desa ini enggan keluar rumah. Saya menyempatkan diri mengabadikan bangunan kuno itu dengan zoom kamera saya.

[caption id="attachment_360843" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Jono warga asli Dusun Gangsiran, Junrejo-Batu "]

14113707032037274660

[/caption]

Tak lama kemudian dari arah bukit Dusun Gangsiran melintas seorang pria dengan mengendarai sepeda motor menghampiri tempat di mana saya berdiri. Pria itu menyapa saya dengan ramahnya. Pak Jono, demikian ia memperkenalkan dirinya. Pria berusia 70 tahun ini merupakan warga asli Dusun Gangsiran.

Pak Jono tahu banyak tentang Gua Jepang dan bangunan tua mirip cerobong asap yang sedang saya datangi. Menurutnya bangunan yang bikin saya penasaran itu tidak lain merupakan cerobong asap pabrik kulit di masa pendudukan Jepang di Malang.

“Itu dulu bangunan pabrik kulit milik Jepang Dik. Tadinya bangunan pabrik itu sangat besar. Entah mengapa perlahan-lahan pabrik kemudian dibongkar. Besi-besinya dijarah dan dijual dengan tujuan yang kurang jelas” terang Pak Jono.

Keterangan Pak Jono tampaknya tak berlebihan. Bangunan pabrik yang katanya sangat besar itu kini nyaris tak terlihat. Yang tersisa hanya bangunan cerobong asap pabrik, dan itu berdiri di lahan milik tetangganya yang bernama Pak Sutrisno.

“Pabrik kulit itu dibangun bersamaan dengan pembuatan Gua Jepang, sekitar tahun 1941” lanjut Pak Jono meyakinkan. Dengan sistem “romushanya” Jepang mencoba melampiaskan ambisinya di bumi Batu, Malang.

Pak Jono juga sempat bercerita tentang keberadaan Gua Jepang yang penuh misteri itu. Ia mengaku pernah memasuki lorong gua itu. Lubang dalam gua jumlahnya sangat banyak. “Ada 16 lubang Dik dalam Gua Jepang itu” imbuhnya.

“Kulit hewan dimasak dengan menggunakan kayu bakar yang ditebang dari hutan yang kini berada dalam lingkungan wana wisata Coban Putri. Kayu-kayu diturunkan dengan menggunakan kereta troli menuju pabrik. Karena hutan berada di perbukitan maka kereta bisa meluncur tanpa lokomotif dan bahan bakar” papar Pak Jono sambil mengingat-ingat kembali cerita orang tuanya kala itu.

[caption id="attachment_360844" align="aligncenter" width="400" caption="Pintu besi Gua Jepang di Junrejo-Batu-Malang"]

14113709652055985432

[/caption]

Jepang kala itu bukan hanya bangsa yang kejam tetapi juga pintar. Lorong-lorong gua dibuat sedemikian banyak untuk berlindung dan menyimpan persediaan makanan mengingat kedudukannya semakin goyah. Puncaknya pada tahun 1945 Jepang mengaku menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu setelah dijatuhkannya bom atom di Kota Hiroshima dan Nagashaki.

[caption id="attachment_360845" align="aligncenter" width="400" caption="Asyik juga menjelajah perbukitan di kawasan Junrejo-Batu-Malang"]

1411371270443006204

[/caption]

Meski penjajahan Jepang menimbulkan luka yang mendalam bagi hati sanubari Bangsa Indonesia, namun warisannya yang berupa gua dan cerobong pabrik merupakan bagian sejarah yang tak boleh dipendam begitu saja.

Kepedulian kita bersama untuk menguak dan mengelolah kembali bangunan bersejarah itu boleh jadi akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Bangunan bersejarah itu bisa menjadi bahan belajar generasi sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline