[caption caption="Dok.Pri"][/caption]Hidup di kota metropolitan macam Jakarta ini kebutuhan akan rumah sendiri adalah kebutuhan pokok, sama seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Tak ada satu orang pun yang mau seumur hidup tinggal di rumah kontrakan. Ibarat kata daripada bayar kontrak tiap bulan, mendingan uang itu buat bayar cicilan rumah tiap bulan.
Tinggal di rumah kontrakan itu enggak enak. Belum lagi kalau pemiliknya kemaruk, tiap bulan menaikan harga sewa semau-maunya. Apalagi tinggal di rumah kontrakan petakan di gang-gang sempit, selain rentan penyakit karena lingkungan yang tak sehat, juga nggak manusiawi.
Menurut hitung-hitungan aku, kalau mau punya rumah sendiri di Jakarta ini, ya minimal harus punya gaji 7 juta rupiah per bulan (itupun sudah ikat perut), dengan rincian sebagai berikut;
- Uang belanja bulanan 1, 5 juta per bulan dengan rincian 50 ribu per hari.
- Beli beras, minyak goreng, kopi, gula, teh, dan bumbu dapur, 250 ribu rupiah per bulan.
- Transportasi berangkat kerja dan pulang kerja naik busway dan angkot menuju halte busway selama 24 hari kerja, minus sabtu dan minggu, 350 ribu rupiah per bulan.
- Bayar listrik 650 ribu per bulan.
- Bayar cicilan piutang untuk DP rumah, 1 juta per bulan.
- Bayar cicilan rumah 3 juta rupiah per bulan
- Sisanya yang 250 ribu rupiah buat keperluan lain yang tak terduga, dan buat nabung kalau masih ada sisa sedikit.
Kalau minimal gaji harus 7 juta rupiah per bulan supaya bisa punya rumah sendiri, lantas bagaimana dengan nasib rakyat kecil seperti Office Boy, Sopir, SATPAM, dan petugas Cleaning Service Outsourcing? Masa mereka harus ngontrak seumur hidup?
Saat ini ya UMP DKI itu sebesar 3,1 juta rupiah per bulan, ditambah tunjangan ini itu ya paling tinggi 4 juta rupiah per bulan, yang jelas masih kurang.
Pemerintah harus berani mengambil peran terhadap kesejahteraan rakyatnya supaya kebutuhan untuk memiliki hunian milik sendiri bisa terpenuhi.
Saat ini Pemprov DKI lagi genjot pembangunan Rusunawa dimana-mana, padahal solusinya bukan itu karena tetap saja harus bayar sewa. Yang harus dibangun yaitu rusunami sebanyak-banyaknya, karena kepemilikannya jelas, yaitu milik sendiri, Strata Tittle, untuk rakyat kelas menengah kebawah.
Pemprov DKI dapat menentukan berapa besaran biaya cicilan per bulan yang tak memberatkan rakyat kecil, bilamana perlu DP disubsidi oleh pemerintah. Atau kalau pakai DP, ya jangan mahal-mahal.
Selain itu Pemprov DKI juga dapat kerjasama dengan perusahaan-perusahan swasta untuk program kepemilikan Rusunami bagi karyawan yang langsung dipotong gaji setiap bulan, misalkan 1 juta per bulan, yang disetor langsung ke Bank DKI.
Ini juga merupakan salah satu cara untuk menghindari mafia properti, yaitu para orang kaya yang borong unit Rusunami sebanyak banyaknya untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal.