Pasca ditangkapnya Yulianus Paonganan yang dituding telah melakukan penghinaan kepada Kepala Negara dengan memplesetkan foto Jokowi dan Nikita Mirzani, membuat para pengkritik Jokowi saat ini sepertinya tiarap dan berpikir seribu kali untuk melontarkan kritik keras kepada pemerintahan Jokowi-JK.
Jujur saja aku tak suka dengan fenomena tak sehat ini. Beginikah manusia mengukur keadilan? Ini bukan jaman Orde Baru!
Kita hidup di era demokrasi, sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik, kita tetap memiliki integritas dan punya rasa membangun semangat dan optimisme dengan melakukan kritik kepada pemerintah secara proporsional, tentunya dengan porsi yang seimbang, dilandasi dengan spirit cinta NKRI.
Yang menjadi persoalan adalah, banyak dari kita yang belum mampu menghindari praktik politik balas dendam melalui bentuk penghinaan yang menjurus kepada pribadi seseorang. Situasi saat ini sudah berbeda, bro, suka tak suka, saat ini Jokowi sudah jadi Presiden, bukan capres lagi seperti yang dulu.
Terkadang kita sebagai pendukung Prabowo Subianto masih terbawa arus rasa dongkol yang berkepanjangan semasa Pilpres dulu dimana para pendukung fanatik butanya Jokowi yang selalu mengagul-agulkan Jokowi dengan jumawa sebagai sosok yang sederhana dan merakyat, sementara Prabowo Subianto adalah sosok yang penuh dengan noda kelam masa lalu dan lumpur dosa.
Sehingga seringkali, disadari atau tidak, ketika kita melontarkan kritik yang tajam kepada pemerintahan Jokowi sudah tak substansial lagi tolok ukurnya, akan tetapi justru menjurus kepada pola dramatisasi penggiringan opini dengan memposting status maupun tulisan-tulisan yang sarat dengan aurat dan syahwat kebencian.
Bahasa verbal memang lebih tajam menusuk daripada bahasa oral, karena bahasa verbal menerjemahkan langsung pikiran seseorang kepada orang lain dengan jelas dan gamblang tanpa terhalang oleh batasan moral, sosial, dan budaya.
Oleh karena itu, ketika kita melontarkan kritik yang keras terhadap pemerintahan Jokowi, hindari bentuk penghinaan, apalagi yang menjurus asusila. Jangankan melakukan penghinaan kepada Kepala Negara, menghina sesama manusia saja pun tak dapat dibenarkan, karena semua manusia sama dan sederajat dihadapan Allah.
Mengkritik dan menghina adalah dua hal yang berbeda. Melontarkan kritik kepada pemerintah adalah sunnah hukumnya, karena UU pun mengaturnya bahwa aspirasi dan kebebasan menyampaikan pendapat dilindungi oleh UU. Akan tetapi kalau sudah menjurus kepada penghinaan, justru hanya menimbulkan kemarahan dan penyakit hati berkepanjangan yang tak kunjung pulih.
Untuk mengobati luka hati, hanya satu obatnya, yaitu hati yang ilhlas, menjauhkan diri dari bias-bias fatamorgana dalam lembah kesesatan pola berpikir, serta menjaga kebersihan hati.
Jadi aku pikir, sudahlah hindari phobia yang berlebihan terhadap Intitusi Kepolisian. Kalau kita berjalan dalam koridor kebenaran, untuk apa kita takut? Kita wajib mengkritisi pemerintahan, apapun kondisinya. Jika kita berhenti mengkritisi pemerintah, maka kebohongan dan kepalsuan akan terus merajalela tiada henti.