Lihat ke Halaman Asli

Belum Pernah Ada Orang Batak yang Lapor Polisi Ketika Dibilang Dasar Batak

Diperbarui: 7 Januari 2017   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang diungkapkan Florence melalui Path adalah hal yang kita lihat saban hari di status-status FB. Ribut sama suami/istri, posting di FB. Ribut sama kakak/adik, teman, pacar, orang tua, teman kerja maupun atasan, posting status di FB secara cetar membahana dan mengharu biru perasaan bagi yang membacanya.

Sementara  kalau dihitung-hitung, berapa biaya bayar Internet, setrum listrik yang terbuang percuma, belum lagi rugi waktu, capek hati, capek pikiran. Kalau cuma begini ini, posting status setiap menit jelas tak ada guna gananya. Heran saja aku dengan mereka-mereka itu. Entah kepuasan apa yang diperoleh dengan prilaku macam begitu itu di media-media sosial.

Apa yang dialami oleh Florence adalah pelajaran yang sangat berharga bagi para pengguna dunia maya supaya otak kanan mereka terbuka sedikit bahwa apa yang kita tulis dan apa yang kita komeni harus dipertanggungjawabkan. Mungkin saja Florence terlalu blak-blakan, terlalu jujur, polos nian apa adanya, namun siapa sangka kepolosannya itu justru berakibat fatal bagi hidupnya dan memporak-porandakan masa depannya.

Kalau di agama Kristen ada istilah hukum tabur tuai. Siapa menabur angin, ia menuai badai. Mungkin tanpa sengaja Florence telah menabur angin, sehingga ia menuai badai yang memporak-porandakkan hidupnya. Ternyata hukum tabur tuai itu ada benarnya juga, ku kira hanya untuk menakut-nakuti saja.

Mungkin pula Florence ini sudah terbiasa memposting status-status akar kepahitan macam begitu itu di media-media sosial, sehingga tanpa ia sadari luapan emosinya melalui postingannya di Path tentang Jogja itu adalah puncak dari apa yang selama ini sering ia lakukan di media-media sosial sehingga menjadi malapetaka dan nightmare yang menggerogoti hidupnya hari lepas hari.

Mengacu dari kasus yang menimpa Florence, aku justru bertanya-tanya dalam hati, kalau saja seandainya kondisinya terbalik, apakah warga Jogja juga akan mengalami hal yang sama seperti seperti yang dialami Florence?

Kultur tiap daerah di negeri zamrud khatulistiwa ini memang berbeda satu sama lain. Kultur orang Jawa yang berbudi pekerti halus dan menyimpan banyak misteri jelas jauh berbeda dengan kultur orang Sumatera yang kasar, meledak-ledak, jujur, polos, dan apa adanya ketika mengungkapkan sesuatu.

Apa yang diungkapkan Florence itu jelas-jelas salah, namun yang bikin aku terheran-heran, masa hal sepele ini bisa sampai heboh begini. Yang jelas, ini pasti ada provokatornya, membesar-besarkan masalah kecil, mengheboh-hebohkan sesuatu yang tak penting-penting amat. Yang begini ini tipikal karakter bangsa kita, masih terbelakang dan senang bukan kepalang mengurusi hal yang sepele dan remeh temeh macam. Begitu itu. Jujur saja aku terpaksa harus bilang begitu.

Bukan bermaksud membenarkan tindakan penghinaan dan cemoohan terhadap suku tertentu, namun jujur saja aku bilang aku belum pernah melihat orang Batak yang tersinggung berat dan lapor Polisi ketika ada suku tertentu yang bilang Dasar Batak.

Padahal kalau mau jujur, ungkapan itu makna negatifnya sangat luas dan dalam, lebih dalam dari sekedar menghina suku tertentu bodoh, tolol, miskin, dan tak berbudaya itu.

Saran aku buat Polda DIY, sudahlah tak usah lebay lah, masa begitu saja pakai acara penahanan segala. Pentingkah ini? Florence sudah dihakimi secara massal, sanksi sosial sudah memporak-porandakan hidupnya. Masa depannya pun sudah hancur lebur. Apa masih kurang puas?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline