Medio 2021, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut menerima laporan atas kasus yang telah berlangsung sejak lama. Yakni, kasus asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dengan tersangka Herry Wirawan. Yang mana para korbannya adalah santri putri yang diasuh oleh tersangka sendiri.
Tercatat, korban berjumlah 21 santri putri yang belajar di Rumah Tahfidz Al-Ikhlas Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru. Saking lamanya kasus ini berlangsung yaitu sejak tahun 2016, sejumlah 9 bayi telah dilahirkan.
Sejak terungkapnya kasus tersebut, pihak yang menangani kasus tidak langsung mempublikasikan dengan mempertimbangkan kondisi mental para korban dan keluarga. Hingga, pada akhir 2021 kasus tersebut mulai dipublikasikan dan membuat ramai arus media utama serta media sosial.
Pada 15 Februari 2022, Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup berdasarkan putusan No. 989/Pid.Sus/2022/PN/Bdg kepada terdakwa. Akan tetapi, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding berupa hukuman mati dengan pertimbangan: Pertama, tidak adanya tanggung jawab terhadap anak-anak yang telah lahir akibat ulah dari terdakwa. Kedua, kesehatan mental para korban yang juga membebani para orang tua korban. Ketiga, perangkap para korban yang berkedok pendidikan Islam telah memunculkan stigma miring orang tua terhadap lembaga pendidikan serupa di Indonesia. Dan merambat hingga tercorengnya citra agama Islam.
Muncul polemik akibat tuntutan hukum pidana mati terdakwa Herry Wirawan. Meskipun, terdakwa memiliki kesempatan untuk mengajukan kasasi menolak hukuman terberat di Indonesia tersebut. Berbagai silang pendapat saling bertanya, apakah hukuman mati adil bagi pelaku maupun korban? Bagaimana relevansinya terhadap hak asasi manusia dan perspektif Islam? Dan apakah hukuman mati yang benar-benar diinginkan oleh para korban untuk sang pelaku?
Hukum Pidana Mati di Indonesia
Hukuman mati adalah satu isu yang banyak mengundang kontroversi tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga dalam lingkup internasional. Di Indonesia, hukuman pidana mati dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964. Hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak mati.
Hukuman mati tergolong salah satu pidana pokok yang terdapat dalam pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada beberapa kejahatan yang diancam hukuman mati, di antaranya pembunuhan, narkotika, dan beberapa kasus berat lainnya. Lalu, apakah tindakan asusila berupa pemerkosaan terhadap anak di bawah umur termasuk ke dalam ancaman hukuman mati?
Pada kasus Herry Wirawan ini, terdakwa dituntut hukuman mati sesuai dengan pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5), jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke dua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Berdasar pada kronologi kasus, yakni terjadi dalam rentang waktu yang lama hingga hampir 5 tahun, dengan korban yang sangat banyak, serta motiv kejahatan yang mampu membungkam para korban. Tentu saja, terdakwa perlu dijatuhi hukuman berlapis. Para orang tua korban dan masyarakat menginginkan terdakwa dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Inilah hukum pidana terberat di Indonesia, hukuman mati.
Hukuman Mati dalam Perspektif Islam
Negara Indonesia memang bukan negara kekhalifahan, di mana pemimpin dan hukum yang tegak wajib bersandar pada syariat Islam tanpa penolakan. Indonesia adalah negara demokrasi yang memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan itulah yang mendasari setiap individu masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, para pendiri dan leluhur bangsa Indonesia yang mayoritas Islam dan lekat pula akan budaya Islam Nusantara, telah menciptakan relevansi antara Islam dan Indonesia melalui berbagai aspek, salah satunya hukum.