M. Avid Liannur-204102040042
Pada Selasa, 12 April 2022, DPR dan pemerintah menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau disingkat RUU TPKS menjadi undang-undang.
Pengesahan ini tentunya menjadi momen penting yang menunjukkan komitmen Negara Indonesia dalam pemberantasan kejahatan kekerasan seksual.
Meskipun legitimasi hukum perlindungan terhadap kekerasan seksual berada di tangan DPR dan Pemerintah, pengesahannya tetap disambut baik. Pasalnya, jalan terjal itu sudah dilalui hingga akhirnya mencapai tahap persetujuan.
Namun, dalam RUU versi terbaru, terutama dalam penjelasan umum, undang-undang ini dibuat untuk menjawab kebutuhan hukum material dan resmi untuk melindungi harkat dan martabat setiap orang dari tindakan kekerasan, kekerasan seksual.
Ditegaskan pula bahwa undang-undang tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegitimasi praktik seksual yang menyimpang atau liberal, yang jelas bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.
Ada 9 jenis tindak kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang TPKS. Mulai dari kekerasan seksual fisik hingga kekerasan seksual non fisik. Selain itu, kata-kata regulasi juga mencakup kekerasan seksual berbasis elektronik.
Kekerasan seksual elektronik termasuk merekam atau memotret dengan konotasi seksual yang bertentangan dengan kehendak atau persetujuan orang yang menjadi subjeknya. Hukuman yang lebih berat lagi jika perbuatan itu dilakukan dengan maksud pemerasan atau ancaman.
Selain mengatur jenis-jenis pelanggaran kekerasan seksual dan hukumannya, undang-undang tersebut juga mengatur ketentuan yang berkaitan dengan hak-hak korban dan upaya rehabilitasi korban.
Selain itu, ketentuan yang berkaitan dengan re-edukasi bagi pelaku kejahatan seks juga diberikan. Tentu saja keseimbangan hukum dari perspektif pelaku dan korban telah dibuat dalam ketentuan undang-undang TPKS ini.