Lihat ke Halaman Asli

Intan Maurissa

Guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 2

Kata tentang Kita

Diperbarui: 27 September 2019   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jikalah takdir merupakan tegangan energi statis, dan nyawa sebagai motor penggeraknya, maka kehidupan tak ubahnya kumparan paling tidak stabil yang pernah digerakkan olehnya. Karena tekanan yang dihasilkannya sama sekali tidak memiliki pola. 

Naik turun tak mengenal arti validitas. Kehidupan terlalu congkak untuk menyuguhkan kita waktu untuk bersikap normal dan sederhana. Ia terus menyuntikkan arus positif yang menjenuhkan, maupun arus negatif yang melenakan. 

Menghadiahi ribuan teka-teki, sehingga seringkali manusia jengah dengan apa yang dipilihnya. Terkadang ragu dengan kebaikan bertopeng nista, atau yakin dengan kekejian berjubah sutra.

Namun, uniknya, dalam kehidupan yang runyam ini, Allah selalu sisipkan kesempatan pada kita untuk mencuri ketentraman ditengan kerusuhan, Memercikkan kebahagiaan ditengah kobar api permusuhan, dan menjaga kestabilan ditengah goncang perasaan. 

Namun, Allah Maha  Bergurau atas setiap titipannya. Karena terkadang, kita harus menjelma menjadi peri paling bijak bagi keadaan hati orang lain, dan iblis paling jahat bagi hati kita sendiri. Ya, kita selalu rela untuk tertusuk duri, demi mempersembahkan mawar untuk orang lain. Kita rela untuk runtuh, demi menjaga keutuhan orang lain. Itulah kita dengan segala kekurangan  kelebihan kita .

Pernahkah kita merasa rindu dengan ketenangan? pernahkah kita merasa rindu untuk lepas tangan?  Pernahkah kita merasa rindu untuk tidak memiliki peran? 

Mendambakan keadaan dimana kita difahami, kita dimengerti, kita dimaklumi, tanpa sibuk mengontrol semua hati agar tidak menyilang dalam pemahamannya, dimana kita hanya boleh duduk dan menonton sandiwara manusia lain, untuk sesekali bertepuk tangan atau menangis, untuk komentar atau memilih diam, untuk memuji atau mengritik, menyaksikan segalanya berevolusi tanpa merasa perlu untuk melibatkan diri sendiri dalam kehidupan orang lain, atau orang lain dalam kehidupan pribadi.

Tapi, bukankah itu pasif sekali?

Bahkan 'penonton' tidak berhak berbangga ketika sebuah sandiwara menemukan titik terang alurnya, meskipun 'penonton' memang tidak perlu bersedih ketika sebuah adegan kian menyakiti pemerannya. Maka, apa definisi kehidupan jika pemilik ruh tidak memiliki 'peran'?

Setiap kita tentu pernah berada pada titik terendah alur sandiwara. Ketika kita memutuskan untuk berhenti dan berkelana jauh mencari makna kehidupan yang lebih sederhana, untuk kemudian pulang tergugu dan sadar, bahwa nyatanya, sandiwara itulah inti dari kehidupan kita sebenarnya. 

Karena sejatinya, kita memang lahir karena orang lain, hidup untuk orang lain, dan mati dibantu orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline