Lihat ke Halaman Asli

Maurin Viany

Seorang penulis amatir.

Memilih Netral, Apakah Sama dengan Apatis?

Diperbarui: 13 Mei 2018   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Halo Kompasianer ! 

Kali ini saya mau membahas hal-hal yang ringan saja, sesuai dengan apa yang saya mampu dan rasakan sendiri. Jadi begini, dalam dunia politik, di mana saya mulai mengetahui dan mengalami apa yang namanya itu politik kampus. Oke, mengapa contohnya politik kampus? dan mengapa judulnya adalah tentang kenetralan ? Ya, karena saya sendiri seseorang yang netral dan tidak berpihak kemana pun di dalam partai-partai yang ada di kampus saya. 

Namun, setelah kurang lebih setahun menjalani hidup sebagai mahasiswa yang di cap apatis, saya mulai merasakan hidup saya sedikit terusik dengan teman-teman yang mengajak saya ikut ke salah satu partai. Masalahnya, saya sulit untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya terus menolak. 

Sudah capek menolak dengan senyuman dan kata-kata yang halus, takutnya mereka tersinggung, apalagi teman-teman saya yang perempuan. Mudah sih, kalau menolak mentah-mentah dan berkata jujur mengapa saya memilih untuk  netral. Tapi kan tidak etis sama sekali, siapapun itu orangnya. Di dalam pengajakan itu, salah satu teman saya yang cukup lihai (namun tidak berhasil membujuk saya) agak menyinggung tentang kenetralan saya. 

"Ih padahal kalau kamu masuk partai kan bisa dapet temen banyak, koneksi luas, dan pengetahuan bertambah." 

Saya hanya tersenyum. Menurut saya, hal-hal di atas bukan murni jika saya ikut ke partai itu. Saya pun sudah mengikuti sebuah komunitas sosial berbasis sukarela di fakultas. Sudah cukup mendapatkan setidaknya tiga hal tersebut. 

Lalu, apa alasan saya memilih menjadi seorang netral ? Apa benar saya ini apatis ? Tentu di setiap pilihan pasti ada alasan. 

Pertama, politik kampus yang tidak sehat. Dari awal, saya melihat ada ketidakberesan dari partai-partai ini. Mendengar cerita seorang teman begini, namun mendengar cerita teman lain yang berbeda partai, begitu. Jadi mana yang benar ? Sudahlah, sebagai mahasiswa yang (seharusnya) sudah dewasa, bisa memilih mana yang benar dan salah. Jadi saya putuskan untuk netral. Karena menurut saya, itu yang benar.

Kedua, merekrut anggota baru dengan tujuan utama memenangkan kontestasi. Di waktu-waktu tertentu, lebih tepatnya mendekati pemilu kampus. Banyak sekali teman yang tiba-tiba menghubungi saya dan juga teman-teman lain yang masih netral untuk memilih calon ketua yang mereka usung. Berbagai metode digunakan. 

Ada yang to the point mengajak, mendekati lawan jenis agar merasa nyaman, hingga berdebat dengan menunjukkan fakta dan data. Ketika mereka menghubungi saya dan ada yang mengajak makan bersama, saya sudah punya jurus sendiri untuk menolak(takut malah saya yang membayar haha).

Karena saya sudah tahu, mereka hanya butuh saya sebentar, lalu pergi. Padahal, tak perlu dibujuk atau dimobilisasi, saya sudah pasti memilih sesuai kualitas mereka dari hati nurani. Bukan melihat partai apa yang mengusung. Kalau kurang bagus, mana mungkin saya pilih. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline